Kamis, 17 Desember 2009

Saatnya Menggusur Riba dari Percaturan Ekonomi Indonesia

 Oleh: Hidayatullah Muttaqin

Secara umum riba didefinisikan sebagai pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat Islam.[1] Definisi ini mencakup segala jenis riba, baik yang pernah ada dalam jaman jahiliyah seperti riba qardh, riba jahiliyyah, riba fadl, dan riba nasiah, juga praktik riba di zaman sekarang baik dalam bentuk bunga bank, jual beli saham, promes, LC, permainan valas, dll.[2]

Menurut An-Nabhani, orang yang melakukan riba, keuntungan yang dia peroleh memiliki sifat mengeksploitasi tenaga orang lain sehingga tanpa bekerja sedikitpun keuntungan tersebut dia peroleh. Selain itu, keuntungan tersebut diperoleh secara pasti karena sudah menjadi aqad dalam transaksinya.[3] Badr Ad Din Al Ayni mengemukakan, prinsip utama dalam riba adalah penambahan dan menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.[4]

Adapun ayat yang secara final mengharamkan riba, QS. Al Baqarah 278 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu…”. Ayat ini dengan tegas mengharamkan riba untuk selama-lamanya. Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, ayat ini merupakan peringatan yang amat keras yang dalam bahasa zaman sekarang bisa juga disebut ultimatum dari Allah. Betapa murkanya Allah terhadap pelaku riba, sampai-sampai ancaman Allah ini lebih keras dari dosa yang lain.[5]

Al Baihaqi dan Al Hakim pernah meriwayatkan sebuah hadist Rasulullah SAW dari Ibnu Mas’ud. “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya”. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Pada malam perjalanan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya pada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba.” Rasulullah juga mengingatkan bahwa orang yang memakan riba, termasuk salah satu dari empat golongan orang yang diharamkan masuk surga dan tidak mendapat petunjuk dari Allah.

Kemudian siapa sajakah yang terkena dosa riba sehingga mereka mendapatkan ancaman dari Allah ? Dalam HR Muslim, “Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.”

Larangan riba ini tidak peduli apakah banyak ataukah sedikit jumlah riba yang diambil.

Bahaya Riba bagi Kehidupan Manusia

Hamka mengungkapkan bahaya riba, yakni riba merupakan suatu kejahatan yang meruntuhkan hakikat dan tujuan Islam dan iman. Riba menyebabkan hancurnya ukhuwah di antara orang yang beriman dan perselisihan antara sesama manusia. Riba benar-benar merupakan pemerasan manusia terhadap manusia yang lain. Segelintir orang yang menghisap riba dengan enak-enaknya menggoyang-goyangkan kakinya dan dari tahun ke tahun mereka menerima kekayaan yang berlimpah dengan tidak bekerja sama sekali. Sementara orang yang dihisap riba memeras keringat hanya untuk menambah kekayaan orang lain, seolah-olah dia menjadi budak dan sapi perahan.[6]

Allah mengingatkan tentang bahaya riba ini di dalam firmannya QS. Al Baqarah ayat 275, yang artinya “Orang-orang yang memakan riba itu tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila…”. Dalam ayat ini dijelaskan bagaimana keadaan orang yang melakukan riba, yakni merasakan kesusahan dan gelisah walaupun penghasilan dari riba sudah begitu besar. Orang-orang ini diumpamakan sebagai orang yang kacau, gelisah, resah karena kerasukan syaitan.[7]

Salah satu ekonom kapitalis sendiri, Keynes, menyebutkan bahwa riba (maksudnya suku bunga) hanyalah angan-angan manusia belaka, manusia dipaksa untuk menerima riba sebagai sesuatu yang baik dan wajar padahal sebenarnya tidak demikian. Lebih fatal lagi riba telah menyebabkan inefisiensi dan ketidakproduktifan di dalam masyarakat. Riba akan menyebabkan sebagian masyarakat berperilaku malas, eksploitatif dan spekulatif.[8]

Bahaya riba selain mengancam orang secara individu, juga mengancam perusahan (BUMN dan swasta), bahkan keberlanjutan hidup suatu negara. Para pelaku riba akan merasakan penyakit riba ini.

Riba dalam Kehidupan Sekarang

Dalam kehidupan sekarang, dimana telah terjadi perkembangan dalam aktivitas ekonomi seperti bank, asuransi, transaksi obligasi, transaksi valas, dll, kita dihadapkan pada kondisi yang serba sulit, karena hampir sebagian besar aktivitas ekonomi mengandung unsur riba. Jika kita tidak hati-hati, kita bisa terjebak riba. Hal ini bisa terjadi karena tidak diterapkannya syariat Islam yang menjamin dan menjaga kehidupan kaum muslimin dan umat lainnya.

Riba di zaman modern ini telah menjelma dan dilegitimasi oleh sistem dan institusi/lembaga. Bank Sentral yang dimiliki setiap negara seperti Bank Indonesia, menggunakan instrumen riba (bunga) sebagai dasar kebijakan moneter dan dalam mempengaruhi sektor riil.

Untuk mengatur jumlah uang yang beredar di masyarakat (M1), untuk menjaga inflasi dan stabilitas kurs rupiah di sektor moneter, serta memicu gairah investasi di sektor riil, maka Bank Indonesia memainkan instrumen suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan cara menaikkan ataupun menurunkan tingkat suku bunga SBI tersebut.

Kebijakan bank sentral ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan perekonomian dalam negeri, bahkan bagi suatu negara yang mempunyai pengaruh yang luas dalam perekonomian dunia seperti Amerika Serikat, kebijakan bank sentralnya (The Fed) dalam menaikkan atau menurunkan tingkat suku bunga Amerika walaupun hanya satu persen saja akan membawa pengaruh yang besar terhadap perekonomian global termasuk Indonesia.

Dalam perekonomian kapitalis, perbankan memiliki peranan yang penting dalam sendi kehidupan ekonomi masyarakat dan negara. Hampir seluruh aktivitas ekonomi masyarakat terkait dengan bank, seperti untuk menyimpan dananya dalam bentuk tabungan, deposito, giro, ataupun dalam memperoleh modal untuk membentuk dan mengembangkan usaha, juga jasa-jasa perbankan lainnya seperti LC (letter of credit) untuk ekspor impor, kartu kredit, transfer uang, dll. Namun, hampir seluruh jasa-jasa perbankan konvensional tersebut terkait dengan bunga yang secara sadar ataupun tidak sadar turut dinikmati masyarakat. Selain bank, riba juga bisa dijalankan oleh lembaga-lembaga keuangan lainnya seperti koperasi simpan pinjam, asuransi, pegadaian, dana pensiun.

Pada sektor informal, riba dihidupkan oleh masyarakat dengan memberikan pinjaman pribadi kepada pihak lainnya dengan mengenakan bunga. Biasanya para peminjam adalah orang-orang kecil seperti para petani, pedagang kecil, nelayan, sedangkan para pemberi pinjaman kebanyakan para juragan kaya.

Perkembangan perekonomian yang berkiblat kepada kapitalis telah membuat perolehan sumber-sumber keuangan tidak hanya cukup dari dunia perbankan, karena itu muncullah sumber-sumber keuangan ribawi yaitu pasar uang dan pasar modal. Di sini diterbitkan instrumen-instrumen keuangan seperti obligasi (bonds) dan surat utang, saham, reksadana, yang kemudian dapat diperdagangkan dalam transaksi derivatif (financial derivativies). Transaksi ini antara lain berbentuk future dan option yang terjadi di zero sum market (satu pihak diuntungkan dan pihak lain dirugikan yang berarti zhalim dan terjadi eksploitasi). Dalam transaksi derivatif ini juga diperdagangkan mata uang.[9]

Selain melakukan pinjaman kepada bank, pemerintah, BUMN dan swasta dapat memperoleh dana/modal melalui pasar modal dan pasar uang ini dengan menerbitkan saham dan obligasi. Pasar keuangan ini sarat dengan kegiatan spekulasi yang bernilai ratusan miliar dolar setiap harinya. Di sinilah sektor moneter (sektor maya) dengan cepat menggelembung sehingga tercipta ekonomi balon (buble economic) yang sangat rawan krisis.

Di tingkat negara riba telah lama mewabah. Hampir seluruh negara di dunia melakukan utang-piutang baik terhadap negara lainnya maupun dengan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia (World Bank), IMF dan ADB dengan tingkat bunga tertentu dan syarat yang memberatkan (zhalim).

Fakta Kerusakan Ekonomi Ribawi di Indonesia

Salah satu penyebab terpuruknya perekonomian Indonesia dalam krisis yang berkepanjangan adalah utang luar negeri, baik yang dilakukan pemerintah maupun yang dilakukan swasta. Sampai akhir tahun 2001 total utang luar negeri Indonesia adalah US $ 139,143 miliar dengan rincian US $ 72,197 miliar utang luar negeri pemerintah dan sisanya sebesar US $ 66,946 miliar. Padahal utang luar negeri Indonesia pada awal orde baru sekitar US $ 2,437 miliar.

Besarnya utang luar negeri Indonesia ini selain disebabkan oleh pinjaman yang terus dilakukan setiap tahunnya, juga karena faktor bunga. Khusus bunga utang luar negeri pemerintah yang dibayar dari tahun 1989-2001 berjumlah US $ 46,631 miliar atau setara dengan Rp 419,679 trilyun (kurs Rp 9000 per dolar).[10] Kemudian selama tahun 1996-2000 total utang luar negeri Indonesia yang dibayar kepada kreditur luar negeri adalah US $ 128,748 miliar. Dari jumlah tersebut, beban bunga yang dibayar Indonesia sebesar US $ 38,025 miliar atau 29,53 persen[11]. Bila jumlah beban bunga tersebut dirupiahkan dengan kurs Rp 9000 per dolar, maka beban bunga yang dibayar Indonesia itu setara dengan Rp 342,225 trilyun. Beban bunga utang luar negeri Indonesia selama lima tahun tersebut lebih besar dari rencana penerimaan RAPBN 2003 sebesar Rp 327,834 trilyun yang disampaikan presiden pada pidato kenegaraannya bulan Agustus lalu.[12] Jadi bisa dibayangkan bagaimana susahnya pemerintah mencari sumber penerimaan APBN sebesar itu, apalagi pemerintah mentargetkan penerimaan dari pajak sebesar Rp 260,785 trilyun[13] (79,55 persen dari total penerimaan RAPBN) yang berarti masyarakat kembali harus berkorban banyak untuk membayar pajak.

Dalam RAPBN 2003, pemerintah menganggarkan Rp 80,89 trilyun untuk membayar bunga utang dalam negeri dan luar negeri atau memakan porsi 43,4 persen dari belanja rutin. Bandingkan anggaran bunga utang ini dengan anggaran pendidikan yang hanya berjumlah Rp 13,6 trilyun. Akibat beban bunga ini, RAPBN 2003 mengalami defisit yang cukup besar yaitu Rp 26,263 trilyun.[14] Defisit ini oleh pemerintah sebagaimana biasanya berusaha ditutupi dengan privatisasi BUMN, penjualan aset-aset yang ditangani BPPN, penghapusan subsidi untuk rakyat dan meningkatkan penerimaan dari pajak. Tentu saja kebijakan ini akan semakin memberatkan rakyat. Jelas APBN ini menggambarkan keuangan negara tidak rasional.[15]

Sektor keuangan dan perbankan Indonesia juga mengalami kerusakan yang sangat parah bahkan akut. Sejak dipermudahnya pendirian bank oleh pemerintah melalui Paket Oktober (Pakto) 1988, maka dengan cepat ratusan bank baru menjamur di Indonesia, sehingga semakin dekatlah interaksi masyarakat dengan bunga. Akhirnya seiring dengan jatuhnya mata uang rupiah dan krisis utang Indonesia, perbankan mengalami kejatuhan yang luar biasa. Dari kredit macet, pelarian uang nasabah oleh pemilik bank, sampai dengan ketidakmampuan bank untuk mengembalikan dana masyarakat akibat mengalami rush.

Untuk mengatasi keadaan tersebut Bank Indonesia mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang jumlahnya Rp 144,536 trilyun. Menurut BPK, dari dana BLBI yang disalurkan Bank Indonesia tersebut terdapat indikasi penyimpangan sebesar Rp 138,442 trilyun (95,78 persen) sampai 29 Januari 1999.[16]

Program penyehatan perbankan Indonesia yang dijalankan pemerintah dan diawasi IMF, menyebabkan pemerintah terjebak pada utang domestik sebesar Rp 600 trilyun lebih yang jumlahnya akan terus berkembang. Utang domestik tersebut berupa Surat Utang Pemerintah (SUP) yang terdiri dari Rp 400 trilyun lebih dalam bentuk obligasi rekap yang ditaruh di bank-bank rekap, dan sisanya SUP yang dikeluarkan untuk mengganti dana BLBI kepada Bank Indonesia.[17] Ini merupakan suatu yang tidak masuk akal. Karena sebelum terjadinya krisis perbankan, pemerintah tidak memiliki utang dalam negeri, namun dengan dikeluarkannya dana BLBI dan program penyehatan perbankan, pemerintah harus menanggung utang dalam negeri yang jumlahnya sangat besar dan beban ini harus ditanggung bersama rakyat Indonesia melalui APBN.

Setiap tahun jumlah bunga utang dalam negeri ini dibayar oleh pemerintah antara Rp 50 sampai Rp 60 trilyun kepada Bank Indonesia dan bank-bank yang direkap. Besarnya beban bunga ini tergantung perkembangan suku bunga SBI. +Jika suku bunga SBI naik satu persen, maka kira-kira beban bunga bertambah Rp 6 trilyun (hitungan kasar, 1% x 600 trilyun).

Anehnya bank-bank yang masuk dalam program rekapitalisasi perbankan, setelah dibiayai/direkap sehingga CAR-nya membaik, oleh pemerintah dengan persetujuan DPR dijual kepada swasta. Misalnya kasus divestasi saham BCA. BCA yang sudah disuntikkan modal dari obligasi pemerintah senilai 60 trilyun dan setiap tahunnya menerima bunga obligasi rekap rata-rata Rp 8,4 trilyun pertahunnya atau Rp 700 miliar perbulannya[18] dijual seharga Rp 5,3 trilyun kepada investor dari Amerika, Faralon Capital. Baru-baru ini pemerintah menjalin kesepakatan untuk menjual 51 persen saham Bank Niaga kepada Commerce Asset dari Malaysia seharga Rp 1,025 trilyun, padahal obligasi pemerintah di Bank Niaga senilai Rp 9,5 trilyun.[19] Proses divestasi bank dalam program rekapitalisasi ini akan berlanjut dengan penjualan bank-bank lainnya.

Jauh sebelum terjadinya krisis perbankan, negara dan masyarakat sudah mengalami kerugian akibat kegiatan ribawi ini. Menurut Rahmat Basoeki, terjadi penjarahan periode pertama dana milik rakyat oleh konglomerat di Bank Indonesia sebesar 100 trilyun melalui KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) periode 1985-1988. Periode kedua tahun 1988-1996, yakni dengan dikeluarkannya kebijakan Pakto ’88 yang membuat para konglomerat rame-rame mendirikan bank dengan janji bunga yang tinggi sehingga berhasil menyedot dana masyarakat yang kemudian dana tersebut disalurkan kepada kelompok usaha mereka sendiri. Akibatnya bank-bank para konglomerat tersebut sekarat bahkan tidak dapat mengembalikan dana masyarakat sedangkan mereka dengan enaknya melarikan diri ke luar negeri beserta uang yang mereka jarah.[20]

Dalam perekonomian yang lesu, bank-bank hasil binaan BPPN tersebut tidak menyalurkan dananya ke masyarakat, karena takut mengalami kredit macet apalagi dengan tingkat suku bunga yang masih tinggi. Bank-bank tersebut justru menanamkan dananya pada aktivitas bunga yang tidak berhubungan sama sekali dengan sektor produksi. Mereka lebih senang mendepositokan ke bank lain, membungakan uang di pasar uang antar bank, jual beli surat berharga seperti obligasi, commercial paper serta transaksi derivatif lainnya, dan yang terbanyak dengan membungakannya pada SBI. Hal ini membuat geram Memperindag Rini Suwandi dengan mengirimkan surat kepada BI karena dana masyarakat yang dikelola bank 90 persen (meminjam istilah Hilmi) “menari-nari” di Bank Indonesia.[21]

Kebijakan Bank Indonesia memberlakukan suku bunga yang tinggi (tight money policy) untuk menahan laju penurunan rupiah telah menyebabkan sektor riil yang sudah bangkrut karena terlilit utang berbunga, terpaksa terjatuh-jatuh untuk merangkak bangkit. Walaupun instrumen SBI sudah dinaikkan tingkat suku bunganya (pernah mencapai 70 persen) dengan harapan para investor dan spekulan memilih menanamkan modalnya di perbankan Indonesia, namun kurs rupiah tetap lengser di kisaran 8.000-10.000 rupiah per dolar.

Berdasarkan analisa Dicki Iskandardinata (mantan bankir), terdapat indikasi penyelewengan dana BLBI sebesar Rp 51 trilyun yang digunakan oleh para pemilik bank untuk bermain valas. Jika dirupiahkan dengan kurs rata-rata yang berlaku saat itu Rp 4000 per dolarnya, maka permainan spekulasi mereka setara dengan 13 dolar Amerika.[22] Ini merupakan seuatu yang sangat ironi.

Riba Harus Digusur

Penerapan ekonomi ribawi di Indonesia telah merusak sendi kehidupan masyarakat dan membangkrutkan negara. Jangankan melihat bagaimana kondisi orang/ perusahaan yang bangkrut karena terlilit utang berbunga, dan kondisi bank yang mengalami kredit macet, negara pun merasakan pahitnya terlilit utang, sehingga menjadi negara kelas dua, hina, mudah diinjak-injak orang, dan terutama kebijakannya dalam mengelola perekonomian nasional terlihat “tidak waras” bagi kepentingan masyarakat banyak.

Pemerintah yang terililit utang ribawi, berada dalam posisi yang sangat lemah terutama ketika berhadapan dengan IMF, Bank Dunia, Amerika, bahkan dengan negara sekecil Singapura. Pemerintah juga takluk di bawah ketiak konglomerat dan cukong-cukongnya. Maka tak heran kebijakan pemerintah dalam bidang politik, ekonomi dan pembangunan bukannya memihak dan menguntungkan bagi rakyatnya, tetapi menguntungkan dan menghamba kepada Bank Dunia, IMF, negara-negara maju, para investor, konglomerat dan pejabat korup.

Ancaman dan peringatan Allah SWT serta fakta kerusakan ekonomi ribawi hendaknya benar-benar kita camkan. Jangan sampai kita tetap larut dalam sistem riba ini. Maka tidak ada kata lain selain riba harus digusur dari perekonomian kita.

Alternatifnya
Allah SWT mengingatkan kita dalam QS. Al Baqarah ayat 275, yang artinya “…padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”. Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa jual beli sebagai cara untuk menambah kekayaan yang dibenarkan. Ini berarti dalam bidang ekonomi, maka suatu perekonomian seharusnya tegak berdiri di atas sektor riil bukan sektor non riil. Sektor riil yang dimaksud di sini adalah usaha produksi, perdagangan, dan jasa yang sesuai syariah bukan yang sesuai dengan hukum buatan manusia seperti kapitalisme.

Menggusur riba dalam perekonomian harus diikuti dengan menggusur kapitalisme baik sebagai sistem ekonomi maupun sebagai ideologi/sistem kehidupan dari Indonesia. Karena itu, alternatif praktis untuk mengikis riba sampai ke akar-akarnya adalah dengan mengubah ideologi dan sistem negara termasuk sistem ekonominya dengan disertai revolusi pemikiran masyarakat menjadi masyarakat yang Islami sehingga tidak terjadi lagi eksploitasi di dalam masyarakat.

——————————————————————————–

[1] Tazkia Institute, Riba dalam Persfektif Agama dan Sejarah, www.tazkia.com

[2] Jurnal Politik dan Dakwah Al Wa’ie, No. 4 Thn. I, 1-31 Desember 2000, hal. 36.

[3] Taqyuddin An-Nabhani (2000), Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Persfektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 201.

[4] Tazkia Institute, Riba dalam Persfektif Agama dan Sejarah, www.tazkia.com

[5] Hamka (1968), Tafsir Al-Azhar Djuzu’ III, PT Pembimbing Masa, Jakarta, hal. 80.

[6] Hamka, Op Cit, hal 80.

[7] Ibid, hal 75

[8] Majalah Dialog CSIC, No. 5 Thn. 1998

[9] Kavaljit Singh (1998), Memahami Globalisasi Keuangan: Panduan Untuk Memperkuat Rakyat, Yakoma PGI, Jakarta, hal. 33.

[10] Hidayatullah Muttaqin, (2002), Skripsi: Resiko Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia bagi APBN, Fakultas Ekonomi Unlam, Banjarmasin, hal. 48

[11] Ibid, hal. 46

[12] Kompas, 18/8/2002

[13] Ibid

[14] Ibid

[15] Hidayatullah Muttaqin, RAPBN yang Irrasional, Banjarmasin Post, 26/8/2002

[16] Siaran Pers BPK, Tentang Hasil Audit Investigatisi atas Penyaluran dan Penggunaan BLBI. www.bi.go.id

[17] Achjar Iljas, Menggugat Penjaminan Perbankan, Republika, 6/8/2002

[18] Susidarto, Di Balik Divestasi Saham BCA, Republika.

[19] Kompas, 17/9/2002

[20] Rahmat Basoeki Soeropranoto, Merampok Uang Rakyat, Republika, 28/8/2000

[21] H. Hilmi, SE, Perbaikan Ekonomi Bersama Bank Syariah, Makalah Seminar Syari’ah Economic Days 2002 di Jakarta.

[22] Dicki Iskandardinata, BLBI: Bencana Luar Biasa Indonesia, Media Indonesia, 14 /1/2000

Sumber :
http://jurnal-ekonomi.org/2003/09/15/saatnya-menggusur-riba-dari-percaturan-ekonomi-indonesia/
15 September 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar