Kamis, 17 Desember 2009

Riba

 Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin 

Berikut pembahasan riba dengan seluk-beluknya. Materi ini mungkin terasa berat, karenanya dibutuhkan perhatian yang lebih saat membacanya. Harapan kami, tulisan yang singkat dan padat ini bisa memberi manfaat bagi anda.

Pada beberapa edisi sebelumnya telah dibahas syarat-syarat jual beli yang sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari situ diketahui beberapa sistem jual beli yang dilarang dalam Islam.
Pada edisi kali ini akan dibahas secara khusus seputar masalah riba, karena tema ini tergolong paling sulit dalam bab jual beli. Juga karena terlalu banyak praktik riba di kalangan kaum muslimin, khususnya di Indonesia ini.

Definisi Riba
Secara bahasa, riba berarti bertambah, tumbuh, tinggi, dan naik. Adapun menurut istilah syariat, para fuqaha sangat beragam dalam mendefinisikannya. Sementara definisi yang tepat haruslah bersifat jami’ mani’ (mengumpulkan dan mengeluarkan), yaitu mengumpulkan hal-hal yang termasuk di dalamnya dan mengeluarkan hal-hal yang tidak termasuk darinya.

Definisi paling ringkas dan bagus adalah yang diberikan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu dalam Syarah Bulughul Maram, bahwa makna riba adalah: “Penambahan pada dua perkara yang diharamkan dalam syariat, adanya tafadhul (penambahan) antara keduanya dengan ganti (bayaran), dan adanya ta`khir (tempo) dalam menerima sesuatu yang disyaratkan qabdh (serah terima di tempat).” (Syarhul Buyu’, hal. 124)
Definisi di atas mencakup riba fadhl dan riba nasi`ah. Permasalahan ini insya Allah akan dijelaskan nanti.
Faedah penting: Setiap jual beli yang diharamkan termasuk dalam kategori riba. Dengan cara seperti ini, dapat diuraikan makna hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا

“Riba itu ada 73 pintu.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi dalam Shahihul Musnad, 2/42)
Bila setiap sistem jual beli yang terlarang masuk dalam kategori riba, maka akan dengan mudah menghitung hingga bilangan tersebut. Namun bila riba itu hanya ditafsirkan sebagai sistem jual beli yang dinashkan sebagai riba atau karena ada unsur penambahan padanya, maka akan sulit mencapai bilangan di atas. Wallahu a’lam.
Madzhab ini dihikayatkan dari sekelompok ulama oleh Al-Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullahu dalam kitab As-Sunnah (hal. 164). Lalu beliau berkata (hal. 173): “Menurut madzhab ini, firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ

“Dan Allah menghalalkan jual beli.” (Al-Baqarah: 275)
memiliki makna umum yang mencakup semua sistem jual beli yang tidak disebut riba. Dan setiap sistem jual beli yang diharamkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Dan Allah mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Juga dihikayatkan oleh As-Subuki dalam Takmilah Al-Majmu’, bahwa madzhab ini disandarkan kepada ‘Aisyah radhiyallahu 'anha dan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu.
Hal ini juga diuraikan oleh Ibnu Hajar, Al-Imam Ash-Shan’ani, Al-Imam Asy-Syaukani, dan sejumlah ulama lainnya. Madzhab ini shahih dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu. Beliau berkata:

لاَ يَصْلُحُ صَفْقَتَانِ فِي صَفْقَةٍ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ

“Tidak boleh ada dua akad dalam satu akad jual beli. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, yang memberi makan orang lain dengan riba, dua saksinya, dan pencatatnya.” (HR. Ibnu Hibban no. 1053, Al-Bazzar dalam Musnad-nya no. 2016 dan Al-Marwazi dalam As-Sunnah (159-161) dengan sanad hasan)
Al-Marwazi dalam Sunnah-nya (hal. 166) menyatakan: “Pada ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ini ada dalil yang menunjukkan bahwa setiap jual beli yang dilarang adalah riba.”
2. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

السَّلَفُ فِي حَبْلِ الْحَبَلَةِ رِبًا

“Salaf (sistem salam) pada hablul habalah adalah riba.” (HR. An-Nasa`i dengan sanad shahih, semua perawinya tsiqah (terpercaya))
Al-Imam As-Sindi dalam Hasyiyatun Nasa‘i (7/313, cetakan Darul Fikr) menjelaskan: “Sistem salaf (salam) dalam hablul habalah adalah sang pembeli menyerahkan uang (harga barang) kepada seseorang yang mempunyai unta bunting. Sang pembeli berkata: ‘Bila unta ini melahirkan kemudian yang ada di dalam perutnya (janin) telah melahirkan (pula), maka aku beli anaknya darimu dengan harga ini.’ Muamalah seperti ini diserupakan dengan riba sebab hukumnya haram seperti riba, dipandang dari sisi bahwa ini adalah menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh si penjual dan dia tidak mampu untuk menyerahkan barang tersebut. Sehingga ada unsur gharar (penipuan) padanya.”

Hukum Riba
Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan termasuk dosa besar, dengan dasar Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
Dalil dari Al-Qur`an di antaranya adalah:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Juga dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al-Baqarah: 278-279)
Dalil dari As-Sunnah di antaranya:
a. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِيْقَاتِ -وَمِنْهَا- أَكْلَ الرِّبَا

“Jauhilah tujuh perkara yang menghancurkan –di antaranya– memakan riba.” (Muttafaqun ‘alaih)
b. Hadits Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari:

لَعَنَ اللهُ آكِلَ الرِّبَا

“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”(HR. Al-Bukhari)
Dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Al-Imam Muslim, yang dilaknat adalah pemakan riba, pemberi riba, penulis dan dua saksinya, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:

هُمْ سَوَاءٌ

“Mereka itu sama.”
Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar. Keadaannya seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullahu sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yang disebut dalam Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.”
Kesepakatan ini dinukil oleh Al-Mawardi rahimahullahu dan An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Majmu’ (9/294, cetakan Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi).
Faedah: Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram di negara Islam secara mutlak, antara muslim dengan muslim, muslim dengan kafir dzimmi, muslim dengan kafir harbi.
Mereka berbeda pendapat tentang riba yang terjadi di negeri kafir antara muslim dengan kafir. Pendapat yang rajih tanpa ada keraguan lagi adalah pendapat jumhur yang menyatakan keharamannya secara mutlak dengan keumuman dalil yang tersebut di atas. Yang menyelisihi adalah Abu Hanifah dan dalil yang dipakai adalah lemah. Wallahu a’lam.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang riba yang terjadi antara orang kafir dengan orang kafir lainnya. Pendapat yang rajih adalah bahwa hal tersebut juga diharamkan atas mereka, sebab orang-orang kafir juga dipanggil untuk melaksanakan hukum-hukum syariat Islam, sebagaimana yang dirajihkan oleh jumhur ulama. Wallahul muwaffiq.

Barang-barang yang Terkena Hukum Riba
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى، اْلآخِذُ وِالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ

“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama (timbangannya), serah terima di tempat (tangan dengan tangan). Barangsiapa menambah atau minta tambah maka dia terjatuh dalam riba, yang mengambil dan yang memberi dalam hal ini adalah sama.” (HR. Muslim)
Demikian pula hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih dan hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit dalam riwayat Muslim hanya menyebutkan 6 jenis barang yang terkena hukum riba, yaitu:
1. Emas
2. Perak
3. Burr (suatu jenis gandum)
4. Sya’ir (suatu jenis gandum)
5. Kurma
6. Garam
Para ulama berbeda pendapat, apakah barang yang terkena riba hanya terbatas pada enam jenis di atas, ataukah barang-barang lain bisa diqiyaskan dengannya?
Untuk mengetahui lebih detail masalah ini, perlu diklasifikasikan pembahasan para ulama menjadi dua bagian:
Pertama: kurma, garam, burr, dan sya’ir.

Para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
1. Pendapat Zhahiriyyah, Qatadah, Thawus, ‘Utsman Al-Buthi, dan dihikayatkan dari Masruq dan Asy-Syafi’i, juga dihikayatkan oleh An-Nawawi dari Syi’ah dan Al-Kasani. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali, dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan beliau sandarkan kepada sejumlah ulama peneliti. Dan ini adalah dzahir pembahasan Asy-Syaukani dalam Wablul Ghamam dan As-Sail, serta pendapat ini yang dipilih oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu, Syaikhuna Yahya Al-Hajuri, Syaikhuna Abdurrahman Al-’Adani, dan para masyayikh Yaman lainnya; bahwa riba hanya terjadi pada enam jenis barang ini dan tidak dapat diqiyaskan dengan yang lainnya.
2. Pendapat jumhur ulama, bahwa barang-barang lain dapat diqiyaskan dengan enam barang di atas, bila ‘illat (sebab hukumnya) sama.
Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai batasan ‘illat-nya sebagai berikut:
a. An-Nakha’i, Az-Zuhri, Ats-Tsauri, Ishaq bin Rahawaih, Al-Hanafiyyah dan pendapat yang masyhur di madzhab Hanabilah bahwa riba itu berlaku pada barang yang ditakar dan atau ditimbang, baik itu sesuatu yang dimakan seperti biji-bijian, gula, lemak, ataupun tidak dimakan seperti besi, kuningan, tembaga, platina, dsb. Adapun segala sesuatu yang tidak ditimbang atau ditakar maka tidak berlaku hukum riba padanya, seperti buah-buahan karena ia diperjualbelikan dengan sistem bijian.
Sehingga menurut mereka, tidak boleh jual beli besi dengan besi secara tafadhul (beda timbangan), sebab besi termasuk barang yang ditimbang. Menurut mereka, boleh jual beli 1 pena dengan 2 pena, sebab pena tidak termasuk barang yang ditimbang atau ditakar. Mereka berdalil dengan lafadz yang tersebut dalam sebagian riwayat:

إِلاَّ وَزْنًا بِوَزْنٍ... إِلاَّ كَيْلاً بِكَيْلٍ

“Kecuali timbangan dengan timbangan… kecuali takaran dengan takaran.”
b. Pendapat terbaru Asy-Syafi’i, juga disandarkan oleh An-Nawawi kepada Ahmad bin Hambal, Ibnul Mundzir, dan yang lainnya, bahwa riba itu berlaku pada semua yang dimakan dan yang diminum, baik itu yang ditimbang/ditakar maupun tidak. Menurut mereka, tidak boleh menjual 1 jeruk dengan 2 jeruk, 1 kg daging dengan 1,5 kg daging. Semua itu termasuk barang yang dimakan. Juga tidak boleh menjual satu gelas jus jeruk dengan dua gelas jus jeruk, sebab itu termasuk barang yang diminum.
c. Pendapat Malik bin Anas rahimahullahu dan dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu, bahwa riba berlaku pada makanan pokok yang dapat disimpan.
d. Pendapat Az-Zuhri dan sejumlah ulama, bahwa riba berlaku pada barang-barang yang warna dan rasanya sama dengan kurma, garam, burr, dan sya’ir.
e. Pendapat Rabi’ah, bahwa riba berlaku pada barang-barang yang dizakati.
f. Pendapat Sa’id bin Al-Musayyib, Asy-Syafi’i dalam pendapat lamanya, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, wakilnya Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, anggota: Asy-Syaikh Shalih Fauzan, Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, mereka berpendapat bahwa riba berlaku pada setiap barang yang dimakan dan diminum yang ditakar atau ditimbang.
Sehingga segala sesuatu yang tidak ditakar atau ditimbang, tidak berlaku hukum riba padanya. Begitu pula segala sesuatu yang dimakan dan diminum namun tidak ditimbang atau ditakar, maka tidak berlaku hukum riba padanya.
Yang rajih –wallahu a’lam– adalah pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yang sepaham dengan mereka yaitu bahwa tidak ada qiyas dalam hal ini, dengan argumentasi sebagai berikut:
1. Hadits-hadits yang tersebut dalam masalah ini, yang menyebutkan hanya enam jenis barang saja.
2. Kembali kepada hukum asal. Hukum asal jual beli adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Sementara yang dikecualikan dalam hadits hanya enam barang saja.
3. ‘Illat yang disebutkan oleh jumhur tidak disebutkan secara nash dalam sebuah dalil. ‘Illat-’illat tersebut hanyalah hasil istinbath melalui cara ijtihad. Oleh sebab itulah, mereka sendiri berbeda pendapat dalam menentukan batasan-batasannya.

وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيْهِ اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا

“Kalau kiranya bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa`: 82)
Untuk itulah kita tetap berpegang dan merujuk kepada dzahir hadits. Wallahul muwaffiq.
Adapun mereka yang beralasan dengan lafadz كَيْلاً بِكَيْلٍ (takaran dengan takaran) dan (timbangan dengan timbangan) yang tersebut dalam sebagian riwayat, maka jawabannya adalah bahwa hadits tersebut dibawa pada pengertian yang ditimbang adalah emas dan perak, bukan barang yang lain, dalam rangka mengompromikan dalil-dalil yang ada.
Atau dengan bahasa lain, yang dimaksud dengan lafadz-lafadz di atas adalah kesamaan pada sisi timbangan pada barang-barang yang terkena hukum riba yang tersebut dalam hadits-hadits lain. Wallahu a’lam.
Adapun pengertian sha’ atau takaran atau hitungan (bijian) pada sebagian riwayat, maka dijawab oleh Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani, yang kesimpulannya adalah bahwa penyebutan hal-hal di atas hanyalah untuk menunjukkan kesamaan dari sisi takaran atau timbangan pada barang-barang yang terkena hukum riba yang disebut dalam hadits-hadits lain. Wallahu a’lam.
Adapun masalah muzabanah1 yang dijadikan dalil oleh jumhur, maka jawabannya adalah sebagai berikut:
1. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu ditanya tentang masalah ini, beliau menjawab: “Tidak masalah kalau anggur termasuk barang yang terkena riba.”
2. Jawaban Ibnu Rusyd rahimahullah: “Muzabanah masuk dalam bab riba dari satu sisi dan masuk dalam bab gharar dari sisi yang lain. Pada barang-barang yang terkena riba maka masuk pada bab riba dan gharar sekaligus. Namun pada barang-barang yang tidak terkena riba maka dia masuk pada sisi gharar saja. Wallahul musta’an.”
Kedua: Emas dan perak
Para ulama berbeda pendapat tentang ‘illat (sebab) emas dan perak dimasukkan sebagai barang riba.
1. Pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yang sepaham dengan mereka, berpendapat bahwa perkaranya adalah ta’abuddi tauqifi, yakni demikianlah yang disebut dalam hadits, ‘illat-nya adalah bahwa dia itu emas dan perak.
Atas dasar ini, maka riba berlaku pada emas dan perak secara mutlak, baik itu dijadikan sebagai alat bayar (tsaman) untuk barang lain maupun tidak. Pendapat ini dipegangi oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu dalam sebagian karyanya.
2. Pendapat Al-Hanafiyah dan yang masyhur dari madzhab Hanabilah, bahwa ‘illat-nya adalah karena emas dan perak termasuk barang yang ditimbang. Sehingga setiap barang yang ditimbang seperti kuningan, platina, dan yang semisalnya termasuk barang yang terkena riba, yaitu diqiyaskan dengan emas dan perak.
Namun pendapat ini terbantah dengan kenyataan adanya ijma’ ulama yang membolehkan adanya sistem salam2 pada barang-barang yang ditimbang. Seandainya setiap barang yang ditimbang terkena riba, niscaya tidak diperbolehkan sistem salam padanya.
3. Pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan satu riwayat dari Ahmad, bahwa ‘illat-nya adalah tsamaniyyah (sebagai alat bayar) untuk barang-barang lainnya. Namun menurut mereka, ‘illat ini khusus pada emas dan perak saja, tidak masuk pada barang yang lainnya.
Yang rajih, wallahu a’lam, adalah pendapat pertama dan tidak bertentangan dengan pendapat ketiga. Sebab, yang ketiga termasuk pada pendapat pertama, wallahu a’lam. Dalilnya adalah hadits Fudhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu tentang jual beli kalung emas. Wallahu a’lam.

Mata Uang Kertas
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini: apakah mata uang kertas sekarang yang dijadikan alat bayar resmi terkena riba fadhl dan riba nasi`ah? Pendapat yang rajih insya Allah adalah bahwa mata uang kertas adalah sesuatu yang berdiri sendiri sebagai naqd seperti emas dan perak. Sehingga mata uang kertas itu berjenis-jenis, sesuai dengan perbedaan jenis pihak yang mengeluarkannya.
Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, mayoritas Ha`iah Kibarul Ulama. Dan ini yang kebanyakan dipilih oleh seminar-seminar fiqih internasional semacam Rabithah ‘Alam Islami, dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi. Dan inilah fatwa ulama kontemporer.
Mereka mengatakan bahwa mata uang kertas disamakan dengan emas dan perak karena hampir mirip (serupa) dengan ‘illat tsamaniyyah (sebagai alat bayar) yang ada pada emas dan perak.
Mata uang kertas sekarang berfungsi sebagai alat bayar untuk barang-barang lain, sebagai harta benda, transaksi jual beli, pembayaran hutang piutang dan perkara-perkara yang dengan dasar itu riba diharamkan pada emas dan perak.
Atas dasar pendapat di atas, maka ada beberapa hukum syar’i yang perlu diperhatikan berkaitan dengan masalah ini. Disebutkan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (13/442-444) diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, anggota Asy-Syaikh Abdurrazaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud, sebagai berikut:
1. Terjadi dua jenis riba (fadhl dan nasi`ah) pada mata uang kertas sebagaimana yang terjadi pada emas dan perak.
2. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang sama atau dengan jenis mata uang yang lain secara nasi`ah (tempo) secara mutlak. Misal, tidak boleh menjual 1 dolar dengan 5 real Saudi secara nasi`ah (tempo).
3. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang sama secara fadhl (selisih nominal), baik secara tempo maupun serah terima di tempat. Misalnya, tidak boleh menjual Rp. 1000 dengan Rp. 1.100.
4. Dibolehkan menjual satu jenis mata uang dengan jenis mata uang yang berbeda secara mutlak, dengan syarat serah terima di tempat. Misal, menjual 1 dolar dengan Rp. 10.000.
5. Wajib mengeluarkan zakatnya bila mencapai nishab dan satu haul. Nishabnya adalah nishab perak.
6. Boleh dijadikan modal dalam syirkah atau sistem salam.
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Muzabanah yaitu membeli burr yang masih di pohonnya dengan burr yang sudah dipanen, atau membeli anggur yang masih di pohonnya dengan zabib (anggur kering/ kismis). (ed)
2 Sistem salam: seseorang menyerahkan uang pembayaran di muka dalam majelis akad untuk membeli suatu barang yang diketahui sifatnya, tidak ada unsur gharar padanya, dengan jumlah yang diketahui, takaran/timbangan yang diketahui, dan waktu penyerahan yang diketahui.

Sumber :
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=403
28 Februari 2007

Sumber :

http://yudhiapr.blogdetik.com/files/2008/08/uang.jpg

Saatnya Menggusur Riba dari Percaturan Ekonomi Indonesia

 Oleh: Hidayatullah Muttaqin

Secara umum riba didefinisikan sebagai pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat Islam.[1] Definisi ini mencakup segala jenis riba, baik yang pernah ada dalam jaman jahiliyah seperti riba qardh, riba jahiliyyah, riba fadl, dan riba nasiah, juga praktik riba di zaman sekarang baik dalam bentuk bunga bank, jual beli saham, promes, LC, permainan valas, dll.[2]

Menurut An-Nabhani, orang yang melakukan riba, keuntungan yang dia peroleh memiliki sifat mengeksploitasi tenaga orang lain sehingga tanpa bekerja sedikitpun keuntungan tersebut dia peroleh. Selain itu, keuntungan tersebut diperoleh secara pasti karena sudah menjadi aqad dalam transaksinya.[3] Badr Ad Din Al Ayni mengemukakan, prinsip utama dalam riba adalah penambahan dan menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.[4]

Adapun ayat yang secara final mengharamkan riba, QS. Al Baqarah 278 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu…”. Ayat ini dengan tegas mengharamkan riba untuk selama-lamanya. Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, ayat ini merupakan peringatan yang amat keras yang dalam bahasa zaman sekarang bisa juga disebut ultimatum dari Allah. Betapa murkanya Allah terhadap pelaku riba, sampai-sampai ancaman Allah ini lebih keras dari dosa yang lain.[5]

Al Baihaqi dan Al Hakim pernah meriwayatkan sebuah hadist Rasulullah SAW dari Ibnu Mas’ud. “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya”. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Pada malam perjalanan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya pada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba.” Rasulullah juga mengingatkan bahwa orang yang memakan riba, termasuk salah satu dari empat golongan orang yang diharamkan masuk surga dan tidak mendapat petunjuk dari Allah.

Kemudian siapa sajakah yang terkena dosa riba sehingga mereka mendapatkan ancaman dari Allah ? Dalam HR Muslim, “Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.”

Larangan riba ini tidak peduli apakah banyak ataukah sedikit jumlah riba yang diambil.

Bahaya Riba bagi Kehidupan Manusia

Hamka mengungkapkan bahaya riba, yakni riba merupakan suatu kejahatan yang meruntuhkan hakikat dan tujuan Islam dan iman. Riba menyebabkan hancurnya ukhuwah di antara orang yang beriman dan perselisihan antara sesama manusia. Riba benar-benar merupakan pemerasan manusia terhadap manusia yang lain. Segelintir orang yang menghisap riba dengan enak-enaknya menggoyang-goyangkan kakinya dan dari tahun ke tahun mereka menerima kekayaan yang berlimpah dengan tidak bekerja sama sekali. Sementara orang yang dihisap riba memeras keringat hanya untuk menambah kekayaan orang lain, seolah-olah dia menjadi budak dan sapi perahan.[6]

Allah mengingatkan tentang bahaya riba ini di dalam firmannya QS. Al Baqarah ayat 275, yang artinya “Orang-orang yang memakan riba itu tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila…”. Dalam ayat ini dijelaskan bagaimana keadaan orang yang melakukan riba, yakni merasakan kesusahan dan gelisah walaupun penghasilan dari riba sudah begitu besar. Orang-orang ini diumpamakan sebagai orang yang kacau, gelisah, resah karena kerasukan syaitan.[7]

Salah satu ekonom kapitalis sendiri, Keynes, menyebutkan bahwa riba (maksudnya suku bunga) hanyalah angan-angan manusia belaka, manusia dipaksa untuk menerima riba sebagai sesuatu yang baik dan wajar padahal sebenarnya tidak demikian. Lebih fatal lagi riba telah menyebabkan inefisiensi dan ketidakproduktifan di dalam masyarakat. Riba akan menyebabkan sebagian masyarakat berperilaku malas, eksploitatif dan spekulatif.[8]

Bahaya riba selain mengancam orang secara individu, juga mengancam perusahan (BUMN dan swasta), bahkan keberlanjutan hidup suatu negara. Para pelaku riba akan merasakan penyakit riba ini.

Riba dalam Kehidupan Sekarang

Dalam kehidupan sekarang, dimana telah terjadi perkembangan dalam aktivitas ekonomi seperti bank, asuransi, transaksi obligasi, transaksi valas, dll, kita dihadapkan pada kondisi yang serba sulit, karena hampir sebagian besar aktivitas ekonomi mengandung unsur riba. Jika kita tidak hati-hati, kita bisa terjebak riba. Hal ini bisa terjadi karena tidak diterapkannya syariat Islam yang menjamin dan menjaga kehidupan kaum muslimin dan umat lainnya.

Riba di zaman modern ini telah menjelma dan dilegitimasi oleh sistem dan institusi/lembaga. Bank Sentral yang dimiliki setiap negara seperti Bank Indonesia, menggunakan instrumen riba (bunga) sebagai dasar kebijakan moneter dan dalam mempengaruhi sektor riil.

Untuk mengatur jumlah uang yang beredar di masyarakat (M1), untuk menjaga inflasi dan stabilitas kurs rupiah di sektor moneter, serta memicu gairah investasi di sektor riil, maka Bank Indonesia memainkan instrumen suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan cara menaikkan ataupun menurunkan tingkat suku bunga SBI tersebut.

Kebijakan bank sentral ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan perekonomian dalam negeri, bahkan bagi suatu negara yang mempunyai pengaruh yang luas dalam perekonomian dunia seperti Amerika Serikat, kebijakan bank sentralnya (The Fed) dalam menaikkan atau menurunkan tingkat suku bunga Amerika walaupun hanya satu persen saja akan membawa pengaruh yang besar terhadap perekonomian global termasuk Indonesia.

Dalam perekonomian kapitalis, perbankan memiliki peranan yang penting dalam sendi kehidupan ekonomi masyarakat dan negara. Hampir seluruh aktivitas ekonomi masyarakat terkait dengan bank, seperti untuk menyimpan dananya dalam bentuk tabungan, deposito, giro, ataupun dalam memperoleh modal untuk membentuk dan mengembangkan usaha, juga jasa-jasa perbankan lainnya seperti LC (letter of credit) untuk ekspor impor, kartu kredit, transfer uang, dll. Namun, hampir seluruh jasa-jasa perbankan konvensional tersebut terkait dengan bunga yang secara sadar ataupun tidak sadar turut dinikmati masyarakat. Selain bank, riba juga bisa dijalankan oleh lembaga-lembaga keuangan lainnya seperti koperasi simpan pinjam, asuransi, pegadaian, dana pensiun.

Pada sektor informal, riba dihidupkan oleh masyarakat dengan memberikan pinjaman pribadi kepada pihak lainnya dengan mengenakan bunga. Biasanya para peminjam adalah orang-orang kecil seperti para petani, pedagang kecil, nelayan, sedangkan para pemberi pinjaman kebanyakan para juragan kaya.

Perkembangan perekonomian yang berkiblat kepada kapitalis telah membuat perolehan sumber-sumber keuangan tidak hanya cukup dari dunia perbankan, karena itu muncullah sumber-sumber keuangan ribawi yaitu pasar uang dan pasar modal. Di sini diterbitkan instrumen-instrumen keuangan seperti obligasi (bonds) dan surat utang, saham, reksadana, yang kemudian dapat diperdagangkan dalam transaksi derivatif (financial derivativies). Transaksi ini antara lain berbentuk future dan option yang terjadi di zero sum market (satu pihak diuntungkan dan pihak lain dirugikan yang berarti zhalim dan terjadi eksploitasi). Dalam transaksi derivatif ini juga diperdagangkan mata uang.[9]

Selain melakukan pinjaman kepada bank, pemerintah, BUMN dan swasta dapat memperoleh dana/modal melalui pasar modal dan pasar uang ini dengan menerbitkan saham dan obligasi. Pasar keuangan ini sarat dengan kegiatan spekulasi yang bernilai ratusan miliar dolar setiap harinya. Di sinilah sektor moneter (sektor maya) dengan cepat menggelembung sehingga tercipta ekonomi balon (buble economic) yang sangat rawan krisis.

Di tingkat negara riba telah lama mewabah. Hampir seluruh negara di dunia melakukan utang-piutang baik terhadap negara lainnya maupun dengan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia (World Bank), IMF dan ADB dengan tingkat bunga tertentu dan syarat yang memberatkan (zhalim).

Fakta Kerusakan Ekonomi Ribawi di Indonesia

Salah satu penyebab terpuruknya perekonomian Indonesia dalam krisis yang berkepanjangan adalah utang luar negeri, baik yang dilakukan pemerintah maupun yang dilakukan swasta. Sampai akhir tahun 2001 total utang luar negeri Indonesia adalah US $ 139,143 miliar dengan rincian US $ 72,197 miliar utang luar negeri pemerintah dan sisanya sebesar US $ 66,946 miliar. Padahal utang luar negeri Indonesia pada awal orde baru sekitar US $ 2,437 miliar.

Besarnya utang luar negeri Indonesia ini selain disebabkan oleh pinjaman yang terus dilakukan setiap tahunnya, juga karena faktor bunga. Khusus bunga utang luar negeri pemerintah yang dibayar dari tahun 1989-2001 berjumlah US $ 46,631 miliar atau setara dengan Rp 419,679 trilyun (kurs Rp 9000 per dolar).[10] Kemudian selama tahun 1996-2000 total utang luar negeri Indonesia yang dibayar kepada kreditur luar negeri adalah US $ 128,748 miliar. Dari jumlah tersebut, beban bunga yang dibayar Indonesia sebesar US $ 38,025 miliar atau 29,53 persen[11]. Bila jumlah beban bunga tersebut dirupiahkan dengan kurs Rp 9000 per dolar, maka beban bunga yang dibayar Indonesia itu setara dengan Rp 342,225 trilyun. Beban bunga utang luar negeri Indonesia selama lima tahun tersebut lebih besar dari rencana penerimaan RAPBN 2003 sebesar Rp 327,834 trilyun yang disampaikan presiden pada pidato kenegaraannya bulan Agustus lalu.[12] Jadi bisa dibayangkan bagaimana susahnya pemerintah mencari sumber penerimaan APBN sebesar itu, apalagi pemerintah mentargetkan penerimaan dari pajak sebesar Rp 260,785 trilyun[13] (79,55 persen dari total penerimaan RAPBN) yang berarti masyarakat kembali harus berkorban banyak untuk membayar pajak.

Dalam RAPBN 2003, pemerintah menganggarkan Rp 80,89 trilyun untuk membayar bunga utang dalam negeri dan luar negeri atau memakan porsi 43,4 persen dari belanja rutin. Bandingkan anggaran bunga utang ini dengan anggaran pendidikan yang hanya berjumlah Rp 13,6 trilyun. Akibat beban bunga ini, RAPBN 2003 mengalami defisit yang cukup besar yaitu Rp 26,263 trilyun.[14] Defisit ini oleh pemerintah sebagaimana biasanya berusaha ditutupi dengan privatisasi BUMN, penjualan aset-aset yang ditangani BPPN, penghapusan subsidi untuk rakyat dan meningkatkan penerimaan dari pajak. Tentu saja kebijakan ini akan semakin memberatkan rakyat. Jelas APBN ini menggambarkan keuangan negara tidak rasional.[15]

Sektor keuangan dan perbankan Indonesia juga mengalami kerusakan yang sangat parah bahkan akut. Sejak dipermudahnya pendirian bank oleh pemerintah melalui Paket Oktober (Pakto) 1988, maka dengan cepat ratusan bank baru menjamur di Indonesia, sehingga semakin dekatlah interaksi masyarakat dengan bunga. Akhirnya seiring dengan jatuhnya mata uang rupiah dan krisis utang Indonesia, perbankan mengalami kejatuhan yang luar biasa. Dari kredit macet, pelarian uang nasabah oleh pemilik bank, sampai dengan ketidakmampuan bank untuk mengembalikan dana masyarakat akibat mengalami rush.

Untuk mengatasi keadaan tersebut Bank Indonesia mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang jumlahnya Rp 144,536 trilyun. Menurut BPK, dari dana BLBI yang disalurkan Bank Indonesia tersebut terdapat indikasi penyimpangan sebesar Rp 138,442 trilyun (95,78 persen) sampai 29 Januari 1999.[16]

Program penyehatan perbankan Indonesia yang dijalankan pemerintah dan diawasi IMF, menyebabkan pemerintah terjebak pada utang domestik sebesar Rp 600 trilyun lebih yang jumlahnya akan terus berkembang. Utang domestik tersebut berupa Surat Utang Pemerintah (SUP) yang terdiri dari Rp 400 trilyun lebih dalam bentuk obligasi rekap yang ditaruh di bank-bank rekap, dan sisanya SUP yang dikeluarkan untuk mengganti dana BLBI kepada Bank Indonesia.[17] Ini merupakan suatu yang tidak masuk akal. Karena sebelum terjadinya krisis perbankan, pemerintah tidak memiliki utang dalam negeri, namun dengan dikeluarkannya dana BLBI dan program penyehatan perbankan, pemerintah harus menanggung utang dalam negeri yang jumlahnya sangat besar dan beban ini harus ditanggung bersama rakyat Indonesia melalui APBN.

Setiap tahun jumlah bunga utang dalam negeri ini dibayar oleh pemerintah antara Rp 50 sampai Rp 60 trilyun kepada Bank Indonesia dan bank-bank yang direkap. Besarnya beban bunga ini tergantung perkembangan suku bunga SBI. +Jika suku bunga SBI naik satu persen, maka kira-kira beban bunga bertambah Rp 6 trilyun (hitungan kasar, 1% x 600 trilyun).

Anehnya bank-bank yang masuk dalam program rekapitalisasi perbankan, setelah dibiayai/direkap sehingga CAR-nya membaik, oleh pemerintah dengan persetujuan DPR dijual kepada swasta. Misalnya kasus divestasi saham BCA. BCA yang sudah disuntikkan modal dari obligasi pemerintah senilai 60 trilyun dan setiap tahunnya menerima bunga obligasi rekap rata-rata Rp 8,4 trilyun pertahunnya atau Rp 700 miliar perbulannya[18] dijual seharga Rp 5,3 trilyun kepada investor dari Amerika, Faralon Capital. Baru-baru ini pemerintah menjalin kesepakatan untuk menjual 51 persen saham Bank Niaga kepada Commerce Asset dari Malaysia seharga Rp 1,025 trilyun, padahal obligasi pemerintah di Bank Niaga senilai Rp 9,5 trilyun.[19] Proses divestasi bank dalam program rekapitalisasi ini akan berlanjut dengan penjualan bank-bank lainnya.

Jauh sebelum terjadinya krisis perbankan, negara dan masyarakat sudah mengalami kerugian akibat kegiatan ribawi ini. Menurut Rahmat Basoeki, terjadi penjarahan periode pertama dana milik rakyat oleh konglomerat di Bank Indonesia sebesar 100 trilyun melalui KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) periode 1985-1988. Periode kedua tahun 1988-1996, yakni dengan dikeluarkannya kebijakan Pakto ’88 yang membuat para konglomerat rame-rame mendirikan bank dengan janji bunga yang tinggi sehingga berhasil menyedot dana masyarakat yang kemudian dana tersebut disalurkan kepada kelompok usaha mereka sendiri. Akibatnya bank-bank para konglomerat tersebut sekarat bahkan tidak dapat mengembalikan dana masyarakat sedangkan mereka dengan enaknya melarikan diri ke luar negeri beserta uang yang mereka jarah.[20]

Dalam perekonomian yang lesu, bank-bank hasil binaan BPPN tersebut tidak menyalurkan dananya ke masyarakat, karena takut mengalami kredit macet apalagi dengan tingkat suku bunga yang masih tinggi. Bank-bank tersebut justru menanamkan dananya pada aktivitas bunga yang tidak berhubungan sama sekali dengan sektor produksi. Mereka lebih senang mendepositokan ke bank lain, membungakan uang di pasar uang antar bank, jual beli surat berharga seperti obligasi, commercial paper serta transaksi derivatif lainnya, dan yang terbanyak dengan membungakannya pada SBI. Hal ini membuat geram Memperindag Rini Suwandi dengan mengirimkan surat kepada BI karena dana masyarakat yang dikelola bank 90 persen (meminjam istilah Hilmi) “menari-nari” di Bank Indonesia.[21]

Kebijakan Bank Indonesia memberlakukan suku bunga yang tinggi (tight money policy) untuk menahan laju penurunan rupiah telah menyebabkan sektor riil yang sudah bangkrut karena terlilit utang berbunga, terpaksa terjatuh-jatuh untuk merangkak bangkit. Walaupun instrumen SBI sudah dinaikkan tingkat suku bunganya (pernah mencapai 70 persen) dengan harapan para investor dan spekulan memilih menanamkan modalnya di perbankan Indonesia, namun kurs rupiah tetap lengser di kisaran 8.000-10.000 rupiah per dolar.

Berdasarkan analisa Dicki Iskandardinata (mantan bankir), terdapat indikasi penyelewengan dana BLBI sebesar Rp 51 trilyun yang digunakan oleh para pemilik bank untuk bermain valas. Jika dirupiahkan dengan kurs rata-rata yang berlaku saat itu Rp 4000 per dolarnya, maka permainan spekulasi mereka setara dengan 13 dolar Amerika.[22] Ini merupakan seuatu yang sangat ironi.

Riba Harus Digusur

Penerapan ekonomi ribawi di Indonesia telah merusak sendi kehidupan masyarakat dan membangkrutkan negara. Jangankan melihat bagaimana kondisi orang/ perusahaan yang bangkrut karena terlilit utang berbunga, dan kondisi bank yang mengalami kredit macet, negara pun merasakan pahitnya terlilit utang, sehingga menjadi negara kelas dua, hina, mudah diinjak-injak orang, dan terutama kebijakannya dalam mengelola perekonomian nasional terlihat “tidak waras” bagi kepentingan masyarakat banyak.

Pemerintah yang terililit utang ribawi, berada dalam posisi yang sangat lemah terutama ketika berhadapan dengan IMF, Bank Dunia, Amerika, bahkan dengan negara sekecil Singapura. Pemerintah juga takluk di bawah ketiak konglomerat dan cukong-cukongnya. Maka tak heran kebijakan pemerintah dalam bidang politik, ekonomi dan pembangunan bukannya memihak dan menguntungkan bagi rakyatnya, tetapi menguntungkan dan menghamba kepada Bank Dunia, IMF, negara-negara maju, para investor, konglomerat dan pejabat korup.

Ancaman dan peringatan Allah SWT serta fakta kerusakan ekonomi ribawi hendaknya benar-benar kita camkan. Jangan sampai kita tetap larut dalam sistem riba ini. Maka tidak ada kata lain selain riba harus digusur dari perekonomian kita.

Alternatifnya
Allah SWT mengingatkan kita dalam QS. Al Baqarah ayat 275, yang artinya “…padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”. Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa jual beli sebagai cara untuk menambah kekayaan yang dibenarkan. Ini berarti dalam bidang ekonomi, maka suatu perekonomian seharusnya tegak berdiri di atas sektor riil bukan sektor non riil. Sektor riil yang dimaksud di sini adalah usaha produksi, perdagangan, dan jasa yang sesuai syariah bukan yang sesuai dengan hukum buatan manusia seperti kapitalisme.

Menggusur riba dalam perekonomian harus diikuti dengan menggusur kapitalisme baik sebagai sistem ekonomi maupun sebagai ideologi/sistem kehidupan dari Indonesia. Karena itu, alternatif praktis untuk mengikis riba sampai ke akar-akarnya adalah dengan mengubah ideologi dan sistem negara termasuk sistem ekonominya dengan disertai revolusi pemikiran masyarakat menjadi masyarakat yang Islami sehingga tidak terjadi lagi eksploitasi di dalam masyarakat.

——————————————————————————–

[1] Tazkia Institute, Riba dalam Persfektif Agama dan Sejarah, www.tazkia.com

[2] Jurnal Politik dan Dakwah Al Wa’ie, No. 4 Thn. I, 1-31 Desember 2000, hal. 36.

[3] Taqyuddin An-Nabhani (2000), Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Persfektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 201.

[4] Tazkia Institute, Riba dalam Persfektif Agama dan Sejarah, www.tazkia.com

[5] Hamka (1968), Tafsir Al-Azhar Djuzu’ III, PT Pembimbing Masa, Jakarta, hal. 80.

[6] Hamka, Op Cit, hal 80.

[7] Ibid, hal 75

[8] Majalah Dialog CSIC, No. 5 Thn. 1998

[9] Kavaljit Singh (1998), Memahami Globalisasi Keuangan: Panduan Untuk Memperkuat Rakyat, Yakoma PGI, Jakarta, hal. 33.

[10] Hidayatullah Muttaqin, (2002), Skripsi: Resiko Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia bagi APBN, Fakultas Ekonomi Unlam, Banjarmasin, hal. 48

[11] Ibid, hal. 46

[12] Kompas, 18/8/2002

[13] Ibid

[14] Ibid

[15] Hidayatullah Muttaqin, RAPBN yang Irrasional, Banjarmasin Post, 26/8/2002

[16] Siaran Pers BPK, Tentang Hasil Audit Investigatisi atas Penyaluran dan Penggunaan BLBI. www.bi.go.id

[17] Achjar Iljas, Menggugat Penjaminan Perbankan, Republika, 6/8/2002

[18] Susidarto, Di Balik Divestasi Saham BCA, Republika.

[19] Kompas, 17/9/2002

[20] Rahmat Basoeki Soeropranoto, Merampok Uang Rakyat, Republika, 28/8/2000

[21] H. Hilmi, SE, Perbaikan Ekonomi Bersama Bank Syariah, Makalah Seminar Syari’ah Economic Days 2002 di Jakarta.

[22] Dicki Iskandardinata, BLBI: Bencana Luar Biasa Indonesia, Media Indonesia, 14 /1/2000

Sumber :
http://jurnal-ekonomi.org/2003/09/15/saatnya-menggusur-riba-dari-percaturan-ekonomi-indonesia/
15 September 2003

Riba Merajalela, Salah Satu Tanda Semakin Dekatnya Kiamat

Di antara tanda-tanda semakin dekatnya kiamat lagi ialah munculnya riba secara merajalela di tengah-tengah masyarakat dan ketidakpedulian mereka terhadap makanan yang haram. Di dalam suatu hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda, yang artinya:

“Menjelang datangnya hari kiamat akan merajalela riba”. (HR: Thabrani sebagaimana termaktub dalam At-Targhib Wat-tarhib karya Al-Mundziri 3:9, dan beliau berkata, “Perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih”).

Dan di dalam kitab Shahih diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya:

“Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman yang pada waktu itu orang tidak memperdulikan lagi harta yang diperolehnya, apakah dari jalan halal atau dari jalan haram”.

(Shahih Bukhari, Kitab Al-Buyu’, Bab Qaulil-Lah Azza wa Jalla: “Yaa ayyuhal-ladziina aamanuu ta’kuluu ar-ribaa” 4: 313, dan Sunan Nasa’i 7: 234, Kitab Al-Buyu’, Bab Ijtinaabi Asy-Syubuhaat fi Al-Kasbi).

Kandungan atau isi hadits-hadits ini telah terbukti pada banyak kaum muslimin pada masa sekarang ini. Mereka tidak memilih yang halal lagi dalam berusaha, bahkan mereka kumpulkan saja harta baik dari jalan halal maupun dari jalan haram. Dan kebanyakan hal ini karena keterlibatan mereka dalam muamalah riba. Banyak bank yang berpaktik secara ribawi, dan banyak pula orang yang terjerembab ke dalamnya. Betapa jelinya Imam Bukhari hingga beliau memasukkan hadits ini dalam Bab Firman Allah Azza wa Jalla

“Yaa ayyuhal-ladziina amanuu laa ta’kulur-ribaa adh’aafan mudhoo’affah” ayat 130 surat Ali Imran

(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba secara berlipat ganda), untuk mejelaskan, bahwa praktik memakan riba secara berlipat ganda itu akan terjadi secara leluasa, yakni apabila manusia tidak mempedulikan cara mencari harta serta tidak membedakan antara yang halal dan yang haram.

(Sumber Rujukan: Asyratus Sa’ah Fasal Tanda-Tanda Kiamat Kecil, Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil)

Sumber :
http://www.unissula.ac.id/hikmah/index_serambi.asp?mID=%7B97F8F5D0-B214-4029-841A-5B80539BC5C7%7D
3 Maret 2008

Hukum Menjadi Pegawai Bank Dalam Pandangan Islam

Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Komisi Fatwa-nya dalam forum Rapat Kerja Nasional dan Ijtima’ Ulama Indonesia, sejak hampir 6 tahun yang lalu tepat pada hari Selasa 16 Desember 2003 telah mengeluarkan fatwa tentang bunga. Fatwa itu intinya menyatakan bahwa bunga pada bank dan lembaga keuangan lain yang ada sekarang telah memenuhi seluruh kriteria riba. Riba tegas dinyatakan haram, sebagaimana firman Allah SWT:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah [2]: 275).

Karena riba haram, berarti bunga juga haram. Karena itu, sejujurnya tidak ada yang istimewa dari fatwa MUI ini. Bahkan sejatinya, untuk perkara yang segamblang atau qath‘î itu tidaklah diperlukan fatwa, alias tinggal dilaksanakan saja. Artinya, fatwa itu lebih merupakan penegasan saja. Sebagai penegasan, fatwa ini sungguh penting karena meski jelas-jelas dilarang al-Quran, praktik pembungaan uang di berbagai bentuk lembaga keuangan tetap saja berlangsung hingga saat ini.

Tulisan kali ini akan lebih membahas tentang besarnya dosa riba dan keterlibatan di dalamnya (Tulisan lengkapnya dapat dilihat di buku kami: “Hukum Seputar Riba dan Pegawai Bank” yang diterbitkan Ar-Raudhoh Pustaka).


Dosa Riba

Seberapa besar dosa terlibat dalam riba, maka cukuplah hadits-hadits shahih berikut menjawabnya:

“Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam)” (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).

“Tinggalkanlah tujuh hal yang dapat membinasakan” Orang-orang bertanya, apakah gerangan wahai Rasul? Beliau menjawab: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri waktu datang serangan musuh dan menuduh wanita mu’min yang suci berzina”. (HR Bukhari Muslim)

Terlibat dalam riba (Bunga Bank) adalah termasuk dosa besar, yang sejajar dengan dosa syirik, sihir, membunuh, memakan harta anak yatim, melarikan dari jihad, dan menuduh wanita baik-baik berzina. Naudzubillah. Bahkan apabila suatu negeri membiarkan saja riba berkembang di daerahnya maka sama saja ia menghalalkan Allah untuk mengazab mereka semua.

“Apabila riba dan zina telah merajalela di suatu negeri, maka rakyat di negeri itu sama saja telah menghalalkan dirinya dari azab Allah” (HR. Al Hakim)

Pertanyaannya, jika Bank itu diharamkam karena Riba, lalu bagaimanakah hukum bagi orang yang bekerja di dalamnya (pegawai Bank)?


Hukum Menjadi Pegawai Bank Konvensional

Telah sampai kepada kita hadits riwayat Ibnu Majah dari jalan Ibnu Mas’ud dari Nabi SAW:

“Bahwa beliau (Nabi SAW) melaknat orang yang makan riba, orang yang menyerahkannya, para saksi serta pencatatnya.” (HR. Bukhari Muslim)

Jabir bin Abdillah r.a. meriwayatkan:

“Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan hasil riba, dan dua orang yang menjadi saksinya.” Dan beliau bersabda: “Mereka itu sama.” (HR. Muslim)

Ibnu Mas’ud meriwayatkan:

“Rasulullah saw. melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makan dari hasil riba, dua orang saksinya, dan penulisnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan:

“Orang yang makan riba, orang yang memben makan dengan riba, dan dua orang saksinya –jika mereka mengetahui hal itu– maka mereka itu dilaknat lewat lisan Nabi Muhammad saw. hingga han kiamat.” (HR. Nasa’i)

Dari hadits-hadits ini kita bisa memahami bahwa tidak diperbolehkan untuk melakukan transaksi ijarah (sewa/kontrak kerja) terhadap salah satu bentuk pekerjaan riba, karena transaksi tersebut merupakan transaksi terhadap jasa yang diharamkan.

Ada empat kelompok orang yang diharamkan berdasarkan hadits tersebut. Yaitu; orang yang makan atau menggunakan (penerima) riba, orang yang menyerahkan (pemberi) riba, pencatat riba, dan saksi riba. dan saat ini jenis pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang membanggakan sebagian kaum muslimin serta secara umum dan legal (secara hukum positif) di kontrak kerjakan kepada kaum muslimin di bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan dan pembiayaan. Berikut adalah keempat kategori pekerjaan yang diharamkan berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan diatas:

1. Penerima Riba

Penerima riba adalah siapa saja yang secara sadar memanfaatkan transaksi yang menghasilkan riba untuk keperluannya sedang ia mengetahui aktivitas tersebut adalah riba. Baik melalui pinjaman kredit, gadai, ataupun pertukaran barang atau uang dan yang lainnya, maka semua yang mengambil atau memanfaatkan aktivitas yang mendatangkan riba ini maka ia haram melakukannya, karena terkategori pemakan riba. Contohnya adalah orang-orang yang melakukan pinjaman hutang dari bank atau lembaga keuangan dan pembiayaan lainnnya untuk membeli sesuatu atau membiayai sesuatu dengan pembayaran kredit yang disertai dengan bunga (rente), baik dengan sistem bunga majemuk maupun tunggal.

2. Pemberi Riba.

Pemberi riba adalah siapa saja, baik secara pribadi maupun lembaga yang menggunakan hartanya atau mengelola harta orang lain secara sadar untuk suatu aktivitas yang menghasilkan riba. Yang termasuk dalam pengertian ini adalah para pemilik perusahaan keuangan, pembiayaan atau bank dan juga para pengelolanya yaitu para pengambil keputusan (Direktur atau Manajer) yang memiliki kebijakan disetujui atau tidak suatu aktivitas yang menghasilkan riba.

3. Pencatat Riba

Adalah siapa saja yang secara sadar terlibat dan menjadi pencatat aktivitas yang menghasilkan riba. Termasuk di dalamnya para teller, orang-orang yang menyusun anggaran (akuntan) dan orang yang membuatkan teks kontrak perjanjian yang menghasilkan riba.

4. Saksi Riba

Adalah siapa saja yang secara sadar terlibat dan menjadi saksi dalam suatu transaksi atau perjanjian yang menghasilkan riba. Termasuk di dalamnya mereka yang menjadi pengawas (supervisor).

Sedangkan status pegawai bank yang lain, instansi-instansi serta semua lembaga yang berhubungan dengan riba, harus diteliti terlebih dahulu tentang aktivitas pekerjaan atau deskripsi kerja dari status pegawai bank tersebut. Apabila pekerjaan yang dikontrakkan adalah bagian dari pekerjaan riba, baik pekerjaan itu sendiri yang menghasilkan riba ataupun yang menghasilkan riba dengan disertai aktivitas lain, maka seorang muslim haram untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, semisal menjadi direktur, akuntan, teller dan supervisornya, termasuk juga setiap pekerjaan yang menghasilkan jasa yang berhubungan dengan riba, baik yang berhubungan secara langsung maupun tidak. Sedangkan pekerjaan yang tidak berhubungan dengan riba, baik secara langsung maupun tidak, seperti juru kunci, penjaga (satpam), pekerja IT (Information Technology/Teknologi Informasi), tukang sapu dan sebagainya, maka diperbolehkan, karena transaksi kerja tersebut merupakan transaksi untuk mengontrak jasa dari pekerjaan yang halal (mubah). Juga karena pekerjaan tersebut tidak bisa disamakan dengan pekerjaan seorang pemberi, pencatat dan saksi riba, yang memang jenis pekerjaannya diharamkan dengan nash yang jelas (sharih).

Yang dinilai sama dengan pegawai bank adalah pegawai pemerintahan yang mengurusi kegiatan-kegiatan riba, seperti para pegawai yang bertugas menyerahkan pinjaman kepada petani dengan riba, para pegawai keuangan yang melakukan pekerjaan riba, termasuk para pegawai panti asuhan yang pekerjaannya adalah meminjam harta dengan riba, maka semuanya termasuk pegawai-pegawai yang diharamkan, dimana orang yang terlibat dianggap berdosa besar, karena mereka bisa disamakan dengan pencatat riba ataupun saksinya. Jadi, tiap pekerjaan yang telah diharamkan oleh Allah SWT, maka seorang muslim diharamkan sebagai ajiir di dalamnya.

Semua pegawai dari bank atau lembaga keuangan serta pemerintahan tersebut, apabila pekerjaannya termasuk dalam katagori mubah menurut syara’ untuk mereka lakukan, maka mereka boleh menjadi pegawai di dalamnya. Apabila pekerjaan tersebut termasuk pekerjaan yang menurut syara’ tidak mubah untuk dilakukan sendiri, maka dia juga tidak diperbolehkan untuk menjadi pegawai di dalamnya. Sebab, dia tidak diperbolehkan untuk menjadi ajiir di dalamnya. Maka, pekerjaan-pekerjaan yang haram dilakukan, hukumnya juga haram untuk dikontrakkan ataupun menjadi pihak yang dikontrak (ajiir).


Selain itu juga Allah SWT mengharamkan kita untuk melakukan kerjasama atau tolong-menolong dalam perbuatan dosa.

وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah: 02)

Wallahu’alam
http://onlymusafir.wordpress.com/2009/08/25/hukum-menjadi-pegawai-bank-dalam-pandangan-islam/
25 Agustus 2009


Sumber :

Meninggalkan Ekonomi Riba Lebih Penting Dibanding Aksi Anti-Korupsi

Ekonomi ribawi itu berdampak pada pengaruh korupsi. Musibah yang melanda ekonomi Indonesia akibat sistem ekonomi ribawi 

Musibah yang melanda ekonomi Indonesia selama ini akibat dominasi penerapan sistem ekonomi ribawi. Dalam praktiknya, ekonomi ribawi lebih membuat orang menjadi gila seperti kemasukan setan.

Pernyataan ini disampaikan Panglima Komando Laskar Islam Munarman, menyikapi perjalanan dramatis kasus Bank Century dan korupsi di Indonesia yang masih belum menemukan titik terang.

“Ekonomi riba menjadikan orang menjadi gila. Sudah seperti orang yang kemasukan setan. Dalilnya jelas, ini di jelaskan oleh Allah dalam Al-Quran,” ujar Munarman kepada www.hidayatullah.com, Selasa (8/12).

Karena itu, pihaknya akan terus mengawal dan mendukung gerakan melawan penerapan ekonomi riba dan melawan korupsi.

Hanya saja, terkait rencana aksi sosial besar-besaran dalam memperingati Hari Anti-Korupsi Se-Dunia, Rabu (9/12), Munarman mengaku tak banyak terlibat. Menurutnya, sekedar aksi peringatan akan berekses kecil. Sebab perang terhadap ekonomi ribawi itu jauh lebih penting, yang justru berdampak pada pengaruh korupsi. Adapaun gerakan aksi antikorupsi, hanyalah cabang dari masalah utama, yakni ekonomi ribawi.

“Kalau itu (Peringatan Hari Anti Korupsi Se-Dunia, red) hanya untuk permukaannya, kalau kita mendorong supaya Indonesia meninggalkan sistem riba, itu saja,” jelas mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini.

Menurut Munarman, selama menggunakan sistem ekonomi ribawi maka akan terus terjadi korupsi.

Sumber :
http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10059:meninggalkan-ekonomi-riba-lebih-penting-dibanding-aksi-anti-korupsi&catid=1:nasional&Itemid=54

8 Desember 2009

Hindari Riba dan Curang Maka Pahami Ilmu Fiqih

Ulama besar, Imam Syafi'i berpendapat pedagang idealnya memahami ilmu fiqih, sehingga masyarakat benar-benar merasakan perniagaan yang Islami dan terhindar dari praktek yang curang dan riba. Pendapat Imam Mahzab tersebut hingga kini masih jauh dari kenyataan dalam kehidupan pasar tradisonal di Indonesia maupun negara muslim lainnya.

"Ekonomi Syariah itu tidak hanya masalah makro seperti perbankan saja, tapi juga yang mikro seperti halnya perniagaan di pasar tradisional. Imam Syafi'i sudah mengingatkan agar pedagang faham fiqih, demi terwujudnya perniagaan yang Islami. Yang ideal seperti ini masih menjadi tantangan bagi Indonesia dan negara-negra muslim lainnya," kata Muhammad Arifin bin Baderi, pembicara dalam Seminar bertema Prospek dan tantangan Ekonomi Syariah di Indonesia Dalam Menghadapi Ekonomi Global di Wisma Nusantara Konsulat Jenderal RI, Andalus District, Jeddah, Kamis (17/12) siang.

Arifin juga membantah stigma pihak Barat, bahwa Ekonomi Syariah adalah ekonomi yang marginal. Menurutnya, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip dalam mengarungi dinamika peradaban, ekonomi syariah justru makin dilirik dan makin bonafide dalam percaturan bisnis Internasional. Terlebih lagi setelah krisis ekonomi kapitalis belum lama ini.

Arifin menegaskan, ada prinsip yang fundamental dalam Ekonomi Syariah, yang
tidak dimiliki ekonomi liberal, yaitu rizqi atau keuntungan adalah semata-mata karunia Allah, bukan semata-mata hasil prediksi, insting dan sistem yang dibuat manusia. Namun demikian juga bukan berarti Ekonomi Syariah bebas dari resiko rugi.

"Rezeki atau untung merupakan kemurahan dari Allah atas segala upaya kita di
jalan yang halal. Namun bukan berarti bebas dari resiko rugi. Rugi itu kan bisa dari faktor intern person nya, ekstren person-nya juga bisa karena musibah," jelasnya.

Dikatakan Arifin, sistem Syariah akan sukses bila umat Islam tidak berpikir serakah yang berpotensi menjerumuskan orang kepada perbuatan curang dan koruptif. Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya telah bersabda, bahwa jangan pernah merasa rizkimu telat datang, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia usai menikmati rizki terakhirnya.

Krisis Dubai

Mengenai krisis ekonomi di Dubai, sebagai negara yang menganut Ekonomi Syariah, praktisi perbankan Syariah Satria Agung Purwanto mengatakan, hal ini harus dilihat secara jeli.

"Ada negara yang memakai sistem campuran. Dubai termasuk yang menggunakan sistem campuran. Atau bisa juga hasil dari perbankan Syariah diinvestasikan ke produk yang diluar Syariah, lalu merugi, sehingga menimbulkan krisis. Jadi harus jeli melihatnya," ungkapnya dalam kesempatan yang sama.

Menurut Satria, sifat yang mendasar dalam transaksi Syariah adalah tidak mengandung unsur riba, penipuan (tidak transparan), tidak dzholim, tidak mengandung unsur judi dan spekulasi serta tidak untuk membiayai usaha yang haram.

"Riba tidak ada, yang ada adalah konsep bagi hasil yang mana semuanya harus tranparan tentang besar komisi, syarat dan kondisi. Itu semua harus disetujui dimuka dan disaksikan. Jadi tidak ada harapan-harapan dan spekulasi diluar yang disetujui dimuka," pungkasnya. (zal/lrn)

Sumber :
http://bangkapos.com/detail.php?section=1&category=6&subcat=18&id=12153

Bunga Bank = Riba Yang Diharamkan

Tanya : 
Assalamualaikum wr. wb.
Pengasuh kontak tanya jawab syariah yang dimuliakan Allah, saya mohon penjelasan lebih lanjut tentang riba dan bunga bank, apakah bunga bank hukumnya sama dengan riba atau tidak? Bagaimana caranya bermuamalah yang sesuai dengan syariah Islam, karena selama ini, saya pribadi, sudah sering melakukan transaksi dengan lembaga keuangan konvensional? Mohon penjelasannya! Wassalamualaikum wr. wb
(Ibu Mutmainnah, Mojokerto)

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Jawab :
Terima kasih banyak atas pertanyaan Ibu Mutmainnah kepada pengasuh kontak tanya jawab syariah PKES. Perlu kami jelaskan terlebih dahulu mengenai status hukumya riba dalam Islam. Sesuai dengan QS al-Baqarah [2]: 275, riba hukumnya haram. Dalam hal ini, tidak ada penjelasan lain yang membolehkan praktek riba dalam setiap aktifitas kegiatan ekonomi. Sudah tidak ada tawar menawar lagi tentang status keharaman riba. Sebagai solusinya, masih mengacu QS. Al-Baqarah [2]: 275, umat Islam diperkenankan untuk memperbanyak praktek jual-beli (ba’i) dalam kegiatan ekonomi.

Riba difahami sebagai ziyadah (tambahan), tumbuh dan membesar. Tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya. Ijma ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar (kabair). (lihat antara lain: a-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, [tt. Dar al-Fikr, t.th], juz 9, h. 391). An-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama madzhab Syafi’i) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Qur’an, atas dua pandangan. Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang dijelaskan oleh Sunnah. Setiap hukum tentang riba yang dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan al-Qur’an, baik riba naqd maupun riba nasi’ah. Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur’an sesungguh-nya hanya mencakup riba nasa’ii yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan atas harta (piutang), disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang diantara mereka, apabila jatuh jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihak berhutang tidak membayarnya, ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa pembayaran-nya.

Sekarang bagaimana dengan bunga bank? Apakah hukumnya sama dengan riba atau tidak? Bunga bank merupakan hal yang baru, termasuk masalah kontemporer yang pada zaman awal Islam, zaman Nabi Muhammad dan Khulafaur Ryasidin, belum dikenal adanya bunga bank. Maka dari itu perlu adanya tanggapan hukum Islam terhadap status hukum bunga bank.

Pada awal tahun 2004, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang bunga bank haram. Dalam fatwa ini dijelaskan bahwa bunga (interest atau faidah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transkasi pinjaman uang (qard) yang diperhitungkan dan pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan atau hasil poko tersebut, berdasrkan tempo wkatu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.

Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.

Adapun keinginan Ibu Mutmainnah untuk melakukan transaksi sesuai dengan syariah Islam merupakan suatu kewajiban bagi kita yang mengaku sebagai orang Islam (muslim atau muslimah). Saat ini sudah banyak lembaga keuangan yang beroperasi sesuai dengan syariah Islam, baik dalam bentuk perbankan maupun non perbankan, seperti asuransi syariah, pegadaian syariah, koperasi syariah atau reksadana syariah. Ibu Mutmainnah dapat menghubungi lembaga keuangan syariah terdekat dan dapat memperoleh informasi tentang produk yang sesuai.

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga dapat bermanfaat bagi Ibu Mutmainnah. Wallahu ‘alam bis shawab

Sumber :
http://www.pkesinteraktif.com/content/view/1993/909/lang,id/
7 Juli 2008