Kamis, 17 Desember 2009

Riba

 Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin 

Berikut pembahasan riba dengan seluk-beluknya. Materi ini mungkin terasa berat, karenanya dibutuhkan perhatian yang lebih saat membacanya. Harapan kami, tulisan yang singkat dan padat ini bisa memberi manfaat bagi anda.

Pada beberapa edisi sebelumnya telah dibahas syarat-syarat jual beli yang sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari situ diketahui beberapa sistem jual beli yang dilarang dalam Islam.
Pada edisi kali ini akan dibahas secara khusus seputar masalah riba, karena tema ini tergolong paling sulit dalam bab jual beli. Juga karena terlalu banyak praktik riba di kalangan kaum muslimin, khususnya di Indonesia ini.

Definisi Riba
Secara bahasa, riba berarti bertambah, tumbuh, tinggi, dan naik. Adapun menurut istilah syariat, para fuqaha sangat beragam dalam mendefinisikannya. Sementara definisi yang tepat haruslah bersifat jami’ mani’ (mengumpulkan dan mengeluarkan), yaitu mengumpulkan hal-hal yang termasuk di dalamnya dan mengeluarkan hal-hal yang tidak termasuk darinya.

Definisi paling ringkas dan bagus adalah yang diberikan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu dalam Syarah Bulughul Maram, bahwa makna riba adalah: “Penambahan pada dua perkara yang diharamkan dalam syariat, adanya tafadhul (penambahan) antara keduanya dengan ganti (bayaran), dan adanya ta`khir (tempo) dalam menerima sesuatu yang disyaratkan qabdh (serah terima di tempat).” (Syarhul Buyu’, hal. 124)
Definisi di atas mencakup riba fadhl dan riba nasi`ah. Permasalahan ini insya Allah akan dijelaskan nanti.
Faedah penting: Setiap jual beli yang diharamkan termasuk dalam kategori riba. Dengan cara seperti ini, dapat diuraikan makna hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا

“Riba itu ada 73 pintu.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi dalam Shahihul Musnad, 2/42)
Bila setiap sistem jual beli yang terlarang masuk dalam kategori riba, maka akan dengan mudah menghitung hingga bilangan tersebut. Namun bila riba itu hanya ditafsirkan sebagai sistem jual beli yang dinashkan sebagai riba atau karena ada unsur penambahan padanya, maka akan sulit mencapai bilangan di atas. Wallahu a’lam.
Madzhab ini dihikayatkan dari sekelompok ulama oleh Al-Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullahu dalam kitab As-Sunnah (hal. 164). Lalu beliau berkata (hal. 173): “Menurut madzhab ini, firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ

“Dan Allah menghalalkan jual beli.” (Al-Baqarah: 275)
memiliki makna umum yang mencakup semua sistem jual beli yang tidak disebut riba. Dan setiap sistem jual beli yang diharamkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Dan Allah mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Juga dihikayatkan oleh As-Subuki dalam Takmilah Al-Majmu’, bahwa madzhab ini disandarkan kepada ‘Aisyah radhiyallahu 'anha dan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu.
Hal ini juga diuraikan oleh Ibnu Hajar, Al-Imam Ash-Shan’ani, Al-Imam Asy-Syaukani, dan sejumlah ulama lainnya. Madzhab ini shahih dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu. Beliau berkata:

لاَ يَصْلُحُ صَفْقَتَانِ فِي صَفْقَةٍ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ

“Tidak boleh ada dua akad dalam satu akad jual beli. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, yang memberi makan orang lain dengan riba, dua saksinya, dan pencatatnya.” (HR. Ibnu Hibban no. 1053, Al-Bazzar dalam Musnad-nya no. 2016 dan Al-Marwazi dalam As-Sunnah (159-161) dengan sanad hasan)
Al-Marwazi dalam Sunnah-nya (hal. 166) menyatakan: “Pada ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ini ada dalil yang menunjukkan bahwa setiap jual beli yang dilarang adalah riba.”
2. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

السَّلَفُ فِي حَبْلِ الْحَبَلَةِ رِبًا

“Salaf (sistem salam) pada hablul habalah adalah riba.” (HR. An-Nasa`i dengan sanad shahih, semua perawinya tsiqah (terpercaya))
Al-Imam As-Sindi dalam Hasyiyatun Nasa‘i (7/313, cetakan Darul Fikr) menjelaskan: “Sistem salaf (salam) dalam hablul habalah adalah sang pembeli menyerahkan uang (harga barang) kepada seseorang yang mempunyai unta bunting. Sang pembeli berkata: ‘Bila unta ini melahirkan kemudian yang ada di dalam perutnya (janin) telah melahirkan (pula), maka aku beli anaknya darimu dengan harga ini.’ Muamalah seperti ini diserupakan dengan riba sebab hukumnya haram seperti riba, dipandang dari sisi bahwa ini adalah menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh si penjual dan dia tidak mampu untuk menyerahkan barang tersebut. Sehingga ada unsur gharar (penipuan) padanya.”

Hukum Riba
Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan termasuk dosa besar, dengan dasar Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
Dalil dari Al-Qur`an di antaranya adalah:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Juga dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al-Baqarah: 278-279)
Dalil dari As-Sunnah di antaranya:
a. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِيْقَاتِ -وَمِنْهَا- أَكْلَ الرِّبَا

“Jauhilah tujuh perkara yang menghancurkan –di antaranya– memakan riba.” (Muttafaqun ‘alaih)
b. Hadits Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari:

لَعَنَ اللهُ آكِلَ الرِّبَا

“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”(HR. Al-Bukhari)
Dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Al-Imam Muslim, yang dilaknat adalah pemakan riba, pemberi riba, penulis dan dua saksinya, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:

هُمْ سَوَاءٌ

“Mereka itu sama.”
Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar. Keadaannya seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullahu sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yang disebut dalam Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.”
Kesepakatan ini dinukil oleh Al-Mawardi rahimahullahu dan An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Majmu’ (9/294, cetakan Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi).
Faedah: Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram di negara Islam secara mutlak, antara muslim dengan muslim, muslim dengan kafir dzimmi, muslim dengan kafir harbi.
Mereka berbeda pendapat tentang riba yang terjadi di negeri kafir antara muslim dengan kafir. Pendapat yang rajih tanpa ada keraguan lagi adalah pendapat jumhur yang menyatakan keharamannya secara mutlak dengan keumuman dalil yang tersebut di atas. Yang menyelisihi adalah Abu Hanifah dan dalil yang dipakai adalah lemah. Wallahu a’lam.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang riba yang terjadi antara orang kafir dengan orang kafir lainnya. Pendapat yang rajih adalah bahwa hal tersebut juga diharamkan atas mereka, sebab orang-orang kafir juga dipanggil untuk melaksanakan hukum-hukum syariat Islam, sebagaimana yang dirajihkan oleh jumhur ulama. Wallahul muwaffiq.

Barang-barang yang Terkena Hukum Riba
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى، اْلآخِذُ وِالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ

“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama (timbangannya), serah terima di tempat (tangan dengan tangan). Barangsiapa menambah atau minta tambah maka dia terjatuh dalam riba, yang mengambil dan yang memberi dalam hal ini adalah sama.” (HR. Muslim)
Demikian pula hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih dan hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit dalam riwayat Muslim hanya menyebutkan 6 jenis barang yang terkena hukum riba, yaitu:
1. Emas
2. Perak
3. Burr (suatu jenis gandum)
4. Sya’ir (suatu jenis gandum)
5. Kurma
6. Garam
Para ulama berbeda pendapat, apakah barang yang terkena riba hanya terbatas pada enam jenis di atas, ataukah barang-barang lain bisa diqiyaskan dengannya?
Untuk mengetahui lebih detail masalah ini, perlu diklasifikasikan pembahasan para ulama menjadi dua bagian:
Pertama: kurma, garam, burr, dan sya’ir.

Para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
1. Pendapat Zhahiriyyah, Qatadah, Thawus, ‘Utsman Al-Buthi, dan dihikayatkan dari Masruq dan Asy-Syafi’i, juga dihikayatkan oleh An-Nawawi dari Syi’ah dan Al-Kasani. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali, dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan beliau sandarkan kepada sejumlah ulama peneliti. Dan ini adalah dzahir pembahasan Asy-Syaukani dalam Wablul Ghamam dan As-Sail, serta pendapat ini yang dipilih oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu, Syaikhuna Yahya Al-Hajuri, Syaikhuna Abdurrahman Al-’Adani, dan para masyayikh Yaman lainnya; bahwa riba hanya terjadi pada enam jenis barang ini dan tidak dapat diqiyaskan dengan yang lainnya.
2. Pendapat jumhur ulama, bahwa barang-barang lain dapat diqiyaskan dengan enam barang di atas, bila ‘illat (sebab hukumnya) sama.
Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai batasan ‘illat-nya sebagai berikut:
a. An-Nakha’i, Az-Zuhri, Ats-Tsauri, Ishaq bin Rahawaih, Al-Hanafiyyah dan pendapat yang masyhur di madzhab Hanabilah bahwa riba itu berlaku pada barang yang ditakar dan atau ditimbang, baik itu sesuatu yang dimakan seperti biji-bijian, gula, lemak, ataupun tidak dimakan seperti besi, kuningan, tembaga, platina, dsb. Adapun segala sesuatu yang tidak ditimbang atau ditakar maka tidak berlaku hukum riba padanya, seperti buah-buahan karena ia diperjualbelikan dengan sistem bijian.
Sehingga menurut mereka, tidak boleh jual beli besi dengan besi secara tafadhul (beda timbangan), sebab besi termasuk barang yang ditimbang. Menurut mereka, boleh jual beli 1 pena dengan 2 pena, sebab pena tidak termasuk barang yang ditimbang atau ditakar. Mereka berdalil dengan lafadz yang tersebut dalam sebagian riwayat:

إِلاَّ وَزْنًا بِوَزْنٍ... إِلاَّ كَيْلاً بِكَيْلٍ

“Kecuali timbangan dengan timbangan… kecuali takaran dengan takaran.”
b. Pendapat terbaru Asy-Syafi’i, juga disandarkan oleh An-Nawawi kepada Ahmad bin Hambal, Ibnul Mundzir, dan yang lainnya, bahwa riba itu berlaku pada semua yang dimakan dan yang diminum, baik itu yang ditimbang/ditakar maupun tidak. Menurut mereka, tidak boleh menjual 1 jeruk dengan 2 jeruk, 1 kg daging dengan 1,5 kg daging. Semua itu termasuk barang yang dimakan. Juga tidak boleh menjual satu gelas jus jeruk dengan dua gelas jus jeruk, sebab itu termasuk barang yang diminum.
c. Pendapat Malik bin Anas rahimahullahu dan dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu, bahwa riba berlaku pada makanan pokok yang dapat disimpan.
d. Pendapat Az-Zuhri dan sejumlah ulama, bahwa riba berlaku pada barang-barang yang warna dan rasanya sama dengan kurma, garam, burr, dan sya’ir.
e. Pendapat Rabi’ah, bahwa riba berlaku pada barang-barang yang dizakati.
f. Pendapat Sa’id bin Al-Musayyib, Asy-Syafi’i dalam pendapat lamanya, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, wakilnya Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, anggota: Asy-Syaikh Shalih Fauzan, Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, mereka berpendapat bahwa riba berlaku pada setiap barang yang dimakan dan diminum yang ditakar atau ditimbang.
Sehingga segala sesuatu yang tidak ditakar atau ditimbang, tidak berlaku hukum riba padanya. Begitu pula segala sesuatu yang dimakan dan diminum namun tidak ditimbang atau ditakar, maka tidak berlaku hukum riba padanya.
Yang rajih –wallahu a’lam– adalah pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yang sepaham dengan mereka yaitu bahwa tidak ada qiyas dalam hal ini, dengan argumentasi sebagai berikut:
1. Hadits-hadits yang tersebut dalam masalah ini, yang menyebutkan hanya enam jenis barang saja.
2. Kembali kepada hukum asal. Hukum asal jual beli adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Sementara yang dikecualikan dalam hadits hanya enam barang saja.
3. ‘Illat yang disebutkan oleh jumhur tidak disebutkan secara nash dalam sebuah dalil. ‘Illat-’illat tersebut hanyalah hasil istinbath melalui cara ijtihad. Oleh sebab itulah, mereka sendiri berbeda pendapat dalam menentukan batasan-batasannya.

وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيْهِ اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا

“Kalau kiranya bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa`: 82)
Untuk itulah kita tetap berpegang dan merujuk kepada dzahir hadits. Wallahul muwaffiq.
Adapun mereka yang beralasan dengan lafadz كَيْلاً بِكَيْلٍ (takaran dengan takaran) dan (timbangan dengan timbangan) yang tersebut dalam sebagian riwayat, maka jawabannya adalah bahwa hadits tersebut dibawa pada pengertian yang ditimbang adalah emas dan perak, bukan barang yang lain, dalam rangka mengompromikan dalil-dalil yang ada.
Atau dengan bahasa lain, yang dimaksud dengan lafadz-lafadz di atas adalah kesamaan pada sisi timbangan pada barang-barang yang terkena hukum riba yang tersebut dalam hadits-hadits lain. Wallahu a’lam.
Adapun pengertian sha’ atau takaran atau hitungan (bijian) pada sebagian riwayat, maka dijawab oleh Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani, yang kesimpulannya adalah bahwa penyebutan hal-hal di atas hanyalah untuk menunjukkan kesamaan dari sisi takaran atau timbangan pada barang-barang yang terkena hukum riba yang disebut dalam hadits-hadits lain. Wallahu a’lam.
Adapun masalah muzabanah1 yang dijadikan dalil oleh jumhur, maka jawabannya adalah sebagai berikut:
1. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu ditanya tentang masalah ini, beliau menjawab: “Tidak masalah kalau anggur termasuk barang yang terkena riba.”
2. Jawaban Ibnu Rusyd rahimahullah: “Muzabanah masuk dalam bab riba dari satu sisi dan masuk dalam bab gharar dari sisi yang lain. Pada barang-barang yang terkena riba maka masuk pada bab riba dan gharar sekaligus. Namun pada barang-barang yang tidak terkena riba maka dia masuk pada sisi gharar saja. Wallahul musta’an.”
Kedua: Emas dan perak
Para ulama berbeda pendapat tentang ‘illat (sebab) emas dan perak dimasukkan sebagai barang riba.
1. Pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yang sepaham dengan mereka, berpendapat bahwa perkaranya adalah ta’abuddi tauqifi, yakni demikianlah yang disebut dalam hadits, ‘illat-nya adalah bahwa dia itu emas dan perak.
Atas dasar ini, maka riba berlaku pada emas dan perak secara mutlak, baik itu dijadikan sebagai alat bayar (tsaman) untuk barang lain maupun tidak. Pendapat ini dipegangi oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu dalam sebagian karyanya.
2. Pendapat Al-Hanafiyah dan yang masyhur dari madzhab Hanabilah, bahwa ‘illat-nya adalah karena emas dan perak termasuk barang yang ditimbang. Sehingga setiap barang yang ditimbang seperti kuningan, platina, dan yang semisalnya termasuk barang yang terkena riba, yaitu diqiyaskan dengan emas dan perak.
Namun pendapat ini terbantah dengan kenyataan adanya ijma’ ulama yang membolehkan adanya sistem salam2 pada barang-barang yang ditimbang. Seandainya setiap barang yang ditimbang terkena riba, niscaya tidak diperbolehkan sistem salam padanya.
3. Pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan satu riwayat dari Ahmad, bahwa ‘illat-nya adalah tsamaniyyah (sebagai alat bayar) untuk barang-barang lainnya. Namun menurut mereka, ‘illat ini khusus pada emas dan perak saja, tidak masuk pada barang yang lainnya.
Yang rajih, wallahu a’lam, adalah pendapat pertama dan tidak bertentangan dengan pendapat ketiga. Sebab, yang ketiga termasuk pada pendapat pertama, wallahu a’lam. Dalilnya adalah hadits Fudhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu tentang jual beli kalung emas. Wallahu a’lam.

Mata Uang Kertas
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini: apakah mata uang kertas sekarang yang dijadikan alat bayar resmi terkena riba fadhl dan riba nasi`ah? Pendapat yang rajih insya Allah adalah bahwa mata uang kertas adalah sesuatu yang berdiri sendiri sebagai naqd seperti emas dan perak. Sehingga mata uang kertas itu berjenis-jenis, sesuai dengan perbedaan jenis pihak yang mengeluarkannya.
Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, mayoritas Ha`iah Kibarul Ulama. Dan ini yang kebanyakan dipilih oleh seminar-seminar fiqih internasional semacam Rabithah ‘Alam Islami, dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi. Dan inilah fatwa ulama kontemporer.
Mereka mengatakan bahwa mata uang kertas disamakan dengan emas dan perak karena hampir mirip (serupa) dengan ‘illat tsamaniyyah (sebagai alat bayar) yang ada pada emas dan perak.
Mata uang kertas sekarang berfungsi sebagai alat bayar untuk barang-barang lain, sebagai harta benda, transaksi jual beli, pembayaran hutang piutang dan perkara-perkara yang dengan dasar itu riba diharamkan pada emas dan perak.
Atas dasar pendapat di atas, maka ada beberapa hukum syar’i yang perlu diperhatikan berkaitan dengan masalah ini. Disebutkan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (13/442-444) diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, anggota Asy-Syaikh Abdurrazaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud, sebagai berikut:
1. Terjadi dua jenis riba (fadhl dan nasi`ah) pada mata uang kertas sebagaimana yang terjadi pada emas dan perak.
2. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang sama atau dengan jenis mata uang yang lain secara nasi`ah (tempo) secara mutlak. Misal, tidak boleh menjual 1 dolar dengan 5 real Saudi secara nasi`ah (tempo).
3. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang sama secara fadhl (selisih nominal), baik secara tempo maupun serah terima di tempat. Misalnya, tidak boleh menjual Rp. 1000 dengan Rp. 1.100.
4. Dibolehkan menjual satu jenis mata uang dengan jenis mata uang yang berbeda secara mutlak, dengan syarat serah terima di tempat. Misal, menjual 1 dolar dengan Rp. 10.000.
5. Wajib mengeluarkan zakatnya bila mencapai nishab dan satu haul. Nishabnya adalah nishab perak.
6. Boleh dijadikan modal dalam syirkah atau sistem salam.
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Muzabanah yaitu membeli burr yang masih di pohonnya dengan burr yang sudah dipanen, atau membeli anggur yang masih di pohonnya dengan zabib (anggur kering/ kismis). (ed)
2 Sistem salam: seseorang menyerahkan uang pembayaran di muka dalam majelis akad untuk membeli suatu barang yang diketahui sifatnya, tidak ada unsur gharar padanya, dengan jumlah yang diketahui, takaran/timbangan yang diketahui, dan waktu penyerahan yang diketahui.

Sumber :
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=403
28 Februari 2007

Sumber :

http://yudhiapr.blogdetik.com/files/2008/08/uang.jpg

Saatnya Menggusur Riba dari Percaturan Ekonomi Indonesia

 Oleh: Hidayatullah Muttaqin

Secara umum riba didefinisikan sebagai pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat Islam.[1] Definisi ini mencakup segala jenis riba, baik yang pernah ada dalam jaman jahiliyah seperti riba qardh, riba jahiliyyah, riba fadl, dan riba nasiah, juga praktik riba di zaman sekarang baik dalam bentuk bunga bank, jual beli saham, promes, LC, permainan valas, dll.[2]

Menurut An-Nabhani, orang yang melakukan riba, keuntungan yang dia peroleh memiliki sifat mengeksploitasi tenaga orang lain sehingga tanpa bekerja sedikitpun keuntungan tersebut dia peroleh. Selain itu, keuntungan tersebut diperoleh secara pasti karena sudah menjadi aqad dalam transaksinya.[3] Badr Ad Din Al Ayni mengemukakan, prinsip utama dalam riba adalah penambahan dan menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.[4]

Adapun ayat yang secara final mengharamkan riba, QS. Al Baqarah 278 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu…”. Ayat ini dengan tegas mengharamkan riba untuk selama-lamanya. Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, ayat ini merupakan peringatan yang amat keras yang dalam bahasa zaman sekarang bisa juga disebut ultimatum dari Allah. Betapa murkanya Allah terhadap pelaku riba, sampai-sampai ancaman Allah ini lebih keras dari dosa yang lain.[5]

Al Baihaqi dan Al Hakim pernah meriwayatkan sebuah hadist Rasulullah SAW dari Ibnu Mas’ud. “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya”. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Pada malam perjalanan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya pada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba.” Rasulullah juga mengingatkan bahwa orang yang memakan riba, termasuk salah satu dari empat golongan orang yang diharamkan masuk surga dan tidak mendapat petunjuk dari Allah.

Kemudian siapa sajakah yang terkena dosa riba sehingga mereka mendapatkan ancaman dari Allah ? Dalam HR Muslim, “Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.”

Larangan riba ini tidak peduli apakah banyak ataukah sedikit jumlah riba yang diambil.

Bahaya Riba bagi Kehidupan Manusia

Hamka mengungkapkan bahaya riba, yakni riba merupakan suatu kejahatan yang meruntuhkan hakikat dan tujuan Islam dan iman. Riba menyebabkan hancurnya ukhuwah di antara orang yang beriman dan perselisihan antara sesama manusia. Riba benar-benar merupakan pemerasan manusia terhadap manusia yang lain. Segelintir orang yang menghisap riba dengan enak-enaknya menggoyang-goyangkan kakinya dan dari tahun ke tahun mereka menerima kekayaan yang berlimpah dengan tidak bekerja sama sekali. Sementara orang yang dihisap riba memeras keringat hanya untuk menambah kekayaan orang lain, seolah-olah dia menjadi budak dan sapi perahan.[6]

Allah mengingatkan tentang bahaya riba ini di dalam firmannya QS. Al Baqarah ayat 275, yang artinya “Orang-orang yang memakan riba itu tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila…”. Dalam ayat ini dijelaskan bagaimana keadaan orang yang melakukan riba, yakni merasakan kesusahan dan gelisah walaupun penghasilan dari riba sudah begitu besar. Orang-orang ini diumpamakan sebagai orang yang kacau, gelisah, resah karena kerasukan syaitan.[7]

Salah satu ekonom kapitalis sendiri, Keynes, menyebutkan bahwa riba (maksudnya suku bunga) hanyalah angan-angan manusia belaka, manusia dipaksa untuk menerima riba sebagai sesuatu yang baik dan wajar padahal sebenarnya tidak demikian. Lebih fatal lagi riba telah menyebabkan inefisiensi dan ketidakproduktifan di dalam masyarakat. Riba akan menyebabkan sebagian masyarakat berperilaku malas, eksploitatif dan spekulatif.[8]

Bahaya riba selain mengancam orang secara individu, juga mengancam perusahan (BUMN dan swasta), bahkan keberlanjutan hidup suatu negara. Para pelaku riba akan merasakan penyakit riba ini.

Riba dalam Kehidupan Sekarang

Dalam kehidupan sekarang, dimana telah terjadi perkembangan dalam aktivitas ekonomi seperti bank, asuransi, transaksi obligasi, transaksi valas, dll, kita dihadapkan pada kondisi yang serba sulit, karena hampir sebagian besar aktivitas ekonomi mengandung unsur riba. Jika kita tidak hati-hati, kita bisa terjebak riba. Hal ini bisa terjadi karena tidak diterapkannya syariat Islam yang menjamin dan menjaga kehidupan kaum muslimin dan umat lainnya.

Riba di zaman modern ini telah menjelma dan dilegitimasi oleh sistem dan institusi/lembaga. Bank Sentral yang dimiliki setiap negara seperti Bank Indonesia, menggunakan instrumen riba (bunga) sebagai dasar kebijakan moneter dan dalam mempengaruhi sektor riil.

Untuk mengatur jumlah uang yang beredar di masyarakat (M1), untuk menjaga inflasi dan stabilitas kurs rupiah di sektor moneter, serta memicu gairah investasi di sektor riil, maka Bank Indonesia memainkan instrumen suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan cara menaikkan ataupun menurunkan tingkat suku bunga SBI tersebut.

Kebijakan bank sentral ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan perekonomian dalam negeri, bahkan bagi suatu negara yang mempunyai pengaruh yang luas dalam perekonomian dunia seperti Amerika Serikat, kebijakan bank sentralnya (The Fed) dalam menaikkan atau menurunkan tingkat suku bunga Amerika walaupun hanya satu persen saja akan membawa pengaruh yang besar terhadap perekonomian global termasuk Indonesia.

Dalam perekonomian kapitalis, perbankan memiliki peranan yang penting dalam sendi kehidupan ekonomi masyarakat dan negara. Hampir seluruh aktivitas ekonomi masyarakat terkait dengan bank, seperti untuk menyimpan dananya dalam bentuk tabungan, deposito, giro, ataupun dalam memperoleh modal untuk membentuk dan mengembangkan usaha, juga jasa-jasa perbankan lainnya seperti LC (letter of credit) untuk ekspor impor, kartu kredit, transfer uang, dll. Namun, hampir seluruh jasa-jasa perbankan konvensional tersebut terkait dengan bunga yang secara sadar ataupun tidak sadar turut dinikmati masyarakat. Selain bank, riba juga bisa dijalankan oleh lembaga-lembaga keuangan lainnya seperti koperasi simpan pinjam, asuransi, pegadaian, dana pensiun.

Pada sektor informal, riba dihidupkan oleh masyarakat dengan memberikan pinjaman pribadi kepada pihak lainnya dengan mengenakan bunga. Biasanya para peminjam adalah orang-orang kecil seperti para petani, pedagang kecil, nelayan, sedangkan para pemberi pinjaman kebanyakan para juragan kaya.

Perkembangan perekonomian yang berkiblat kepada kapitalis telah membuat perolehan sumber-sumber keuangan tidak hanya cukup dari dunia perbankan, karena itu muncullah sumber-sumber keuangan ribawi yaitu pasar uang dan pasar modal. Di sini diterbitkan instrumen-instrumen keuangan seperti obligasi (bonds) dan surat utang, saham, reksadana, yang kemudian dapat diperdagangkan dalam transaksi derivatif (financial derivativies). Transaksi ini antara lain berbentuk future dan option yang terjadi di zero sum market (satu pihak diuntungkan dan pihak lain dirugikan yang berarti zhalim dan terjadi eksploitasi). Dalam transaksi derivatif ini juga diperdagangkan mata uang.[9]

Selain melakukan pinjaman kepada bank, pemerintah, BUMN dan swasta dapat memperoleh dana/modal melalui pasar modal dan pasar uang ini dengan menerbitkan saham dan obligasi. Pasar keuangan ini sarat dengan kegiatan spekulasi yang bernilai ratusan miliar dolar setiap harinya. Di sinilah sektor moneter (sektor maya) dengan cepat menggelembung sehingga tercipta ekonomi balon (buble economic) yang sangat rawan krisis.

Di tingkat negara riba telah lama mewabah. Hampir seluruh negara di dunia melakukan utang-piutang baik terhadap negara lainnya maupun dengan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia (World Bank), IMF dan ADB dengan tingkat bunga tertentu dan syarat yang memberatkan (zhalim).

Fakta Kerusakan Ekonomi Ribawi di Indonesia

Salah satu penyebab terpuruknya perekonomian Indonesia dalam krisis yang berkepanjangan adalah utang luar negeri, baik yang dilakukan pemerintah maupun yang dilakukan swasta. Sampai akhir tahun 2001 total utang luar negeri Indonesia adalah US $ 139,143 miliar dengan rincian US $ 72,197 miliar utang luar negeri pemerintah dan sisanya sebesar US $ 66,946 miliar. Padahal utang luar negeri Indonesia pada awal orde baru sekitar US $ 2,437 miliar.

Besarnya utang luar negeri Indonesia ini selain disebabkan oleh pinjaman yang terus dilakukan setiap tahunnya, juga karena faktor bunga. Khusus bunga utang luar negeri pemerintah yang dibayar dari tahun 1989-2001 berjumlah US $ 46,631 miliar atau setara dengan Rp 419,679 trilyun (kurs Rp 9000 per dolar).[10] Kemudian selama tahun 1996-2000 total utang luar negeri Indonesia yang dibayar kepada kreditur luar negeri adalah US $ 128,748 miliar. Dari jumlah tersebut, beban bunga yang dibayar Indonesia sebesar US $ 38,025 miliar atau 29,53 persen[11]. Bila jumlah beban bunga tersebut dirupiahkan dengan kurs Rp 9000 per dolar, maka beban bunga yang dibayar Indonesia itu setara dengan Rp 342,225 trilyun. Beban bunga utang luar negeri Indonesia selama lima tahun tersebut lebih besar dari rencana penerimaan RAPBN 2003 sebesar Rp 327,834 trilyun yang disampaikan presiden pada pidato kenegaraannya bulan Agustus lalu.[12] Jadi bisa dibayangkan bagaimana susahnya pemerintah mencari sumber penerimaan APBN sebesar itu, apalagi pemerintah mentargetkan penerimaan dari pajak sebesar Rp 260,785 trilyun[13] (79,55 persen dari total penerimaan RAPBN) yang berarti masyarakat kembali harus berkorban banyak untuk membayar pajak.

Dalam RAPBN 2003, pemerintah menganggarkan Rp 80,89 trilyun untuk membayar bunga utang dalam negeri dan luar negeri atau memakan porsi 43,4 persen dari belanja rutin. Bandingkan anggaran bunga utang ini dengan anggaran pendidikan yang hanya berjumlah Rp 13,6 trilyun. Akibat beban bunga ini, RAPBN 2003 mengalami defisit yang cukup besar yaitu Rp 26,263 trilyun.[14] Defisit ini oleh pemerintah sebagaimana biasanya berusaha ditutupi dengan privatisasi BUMN, penjualan aset-aset yang ditangani BPPN, penghapusan subsidi untuk rakyat dan meningkatkan penerimaan dari pajak. Tentu saja kebijakan ini akan semakin memberatkan rakyat. Jelas APBN ini menggambarkan keuangan negara tidak rasional.[15]

Sektor keuangan dan perbankan Indonesia juga mengalami kerusakan yang sangat parah bahkan akut. Sejak dipermudahnya pendirian bank oleh pemerintah melalui Paket Oktober (Pakto) 1988, maka dengan cepat ratusan bank baru menjamur di Indonesia, sehingga semakin dekatlah interaksi masyarakat dengan bunga. Akhirnya seiring dengan jatuhnya mata uang rupiah dan krisis utang Indonesia, perbankan mengalami kejatuhan yang luar biasa. Dari kredit macet, pelarian uang nasabah oleh pemilik bank, sampai dengan ketidakmampuan bank untuk mengembalikan dana masyarakat akibat mengalami rush.

Untuk mengatasi keadaan tersebut Bank Indonesia mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang jumlahnya Rp 144,536 trilyun. Menurut BPK, dari dana BLBI yang disalurkan Bank Indonesia tersebut terdapat indikasi penyimpangan sebesar Rp 138,442 trilyun (95,78 persen) sampai 29 Januari 1999.[16]

Program penyehatan perbankan Indonesia yang dijalankan pemerintah dan diawasi IMF, menyebabkan pemerintah terjebak pada utang domestik sebesar Rp 600 trilyun lebih yang jumlahnya akan terus berkembang. Utang domestik tersebut berupa Surat Utang Pemerintah (SUP) yang terdiri dari Rp 400 trilyun lebih dalam bentuk obligasi rekap yang ditaruh di bank-bank rekap, dan sisanya SUP yang dikeluarkan untuk mengganti dana BLBI kepada Bank Indonesia.[17] Ini merupakan suatu yang tidak masuk akal. Karena sebelum terjadinya krisis perbankan, pemerintah tidak memiliki utang dalam negeri, namun dengan dikeluarkannya dana BLBI dan program penyehatan perbankan, pemerintah harus menanggung utang dalam negeri yang jumlahnya sangat besar dan beban ini harus ditanggung bersama rakyat Indonesia melalui APBN.

Setiap tahun jumlah bunga utang dalam negeri ini dibayar oleh pemerintah antara Rp 50 sampai Rp 60 trilyun kepada Bank Indonesia dan bank-bank yang direkap. Besarnya beban bunga ini tergantung perkembangan suku bunga SBI. +Jika suku bunga SBI naik satu persen, maka kira-kira beban bunga bertambah Rp 6 trilyun (hitungan kasar, 1% x 600 trilyun).

Anehnya bank-bank yang masuk dalam program rekapitalisasi perbankan, setelah dibiayai/direkap sehingga CAR-nya membaik, oleh pemerintah dengan persetujuan DPR dijual kepada swasta. Misalnya kasus divestasi saham BCA. BCA yang sudah disuntikkan modal dari obligasi pemerintah senilai 60 trilyun dan setiap tahunnya menerima bunga obligasi rekap rata-rata Rp 8,4 trilyun pertahunnya atau Rp 700 miliar perbulannya[18] dijual seharga Rp 5,3 trilyun kepada investor dari Amerika, Faralon Capital. Baru-baru ini pemerintah menjalin kesepakatan untuk menjual 51 persen saham Bank Niaga kepada Commerce Asset dari Malaysia seharga Rp 1,025 trilyun, padahal obligasi pemerintah di Bank Niaga senilai Rp 9,5 trilyun.[19] Proses divestasi bank dalam program rekapitalisasi ini akan berlanjut dengan penjualan bank-bank lainnya.

Jauh sebelum terjadinya krisis perbankan, negara dan masyarakat sudah mengalami kerugian akibat kegiatan ribawi ini. Menurut Rahmat Basoeki, terjadi penjarahan periode pertama dana milik rakyat oleh konglomerat di Bank Indonesia sebesar 100 trilyun melalui KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) periode 1985-1988. Periode kedua tahun 1988-1996, yakni dengan dikeluarkannya kebijakan Pakto ’88 yang membuat para konglomerat rame-rame mendirikan bank dengan janji bunga yang tinggi sehingga berhasil menyedot dana masyarakat yang kemudian dana tersebut disalurkan kepada kelompok usaha mereka sendiri. Akibatnya bank-bank para konglomerat tersebut sekarat bahkan tidak dapat mengembalikan dana masyarakat sedangkan mereka dengan enaknya melarikan diri ke luar negeri beserta uang yang mereka jarah.[20]

Dalam perekonomian yang lesu, bank-bank hasil binaan BPPN tersebut tidak menyalurkan dananya ke masyarakat, karena takut mengalami kredit macet apalagi dengan tingkat suku bunga yang masih tinggi. Bank-bank tersebut justru menanamkan dananya pada aktivitas bunga yang tidak berhubungan sama sekali dengan sektor produksi. Mereka lebih senang mendepositokan ke bank lain, membungakan uang di pasar uang antar bank, jual beli surat berharga seperti obligasi, commercial paper serta transaksi derivatif lainnya, dan yang terbanyak dengan membungakannya pada SBI. Hal ini membuat geram Memperindag Rini Suwandi dengan mengirimkan surat kepada BI karena dana masyarakat yang dikelola bank 90 persen (meminjam istilah Hilmi) “menari-nari” di Bank Indonesia.[21]

Kebijakan Bank Indonesia memberlakukan suku bunga yang tinggi (tight money policy) untuk menahan laju penurunan rupiah telah menyebabkan sektor riil yang sudah bangkrut karena terlilit utang berbunga, terpaksa terjatuh-jatuh untuk merangkak bangkit. Walaupun instrumen SBI sudah dinaikkan tingkat suku bunganya (pernah mencapai 70 persen) dengan harapan para investor dan spekulan memilih menanamkan modalnya di perbankan Indonesia, namun kurs rupiah tetap lengser di kisaran 8.000-10.000 rupiah per dolar.

Berdasarkan analisa Dicki Iskandardinata (mantan bankir), terdapat indikasi penyelewengan dana BLBI sebesar Rp 51 trilyun yang digunakan oleh para pemilik bank untuk bermain valas. Jika dirupiahkan dengan kurs rata-rata yang berlaku saat itu Rp 4000 per dolarnya, maka permainan spekulasi mereka setara dengan 13 dolar Amerika.[22] Ini merupakan seuatu yang sangat ironi.

Riba Harus Digusur

Penerapan ekonomi ribawi di Indonesia telah merusak sendi kehidupan masyarakat dan membangkrutkan negara. Jangankan melihat bagaimana kondisi orang/ perusahaan yang bangkrut karena terlilit utang berbunga, dan kondisi bank yang mengalami kredit macet, negara pun merasakan pahitnya terlilit utang, sehingga menjadi negara kelas dua, hina, mudah diinjak-injak orang, dan terutama kebijakannya dalam mengelola perekonomian nasional terlihat “tidak waras” bagi kepentingan masyarakat banyak.

Pemerintah yang terililit utang ribawi, berada dalam posisi yang sangat lemah terutama ketika berhadapan dengan IMF, Bank Dunia, Amerika, bahkan dengan negara sekecil Singapura. Pemerintah juga takluk di bawah ketiak konglomerat dan cukong-cukongnya. Maka tak heran kebijakan pemerintah dalam bidang politik, ekonomi dan pembangunan bukannya memihak dan menguntungkan bagi rakyatnya, tetapi menguntungkan dan menghamba kepada Bank Dunia, IMF, negara-negara maju, para investor, konglomerat dan pejabat korup.

Ancaman dan peringatan Allah SWT serta fakta kerusakan ekonomi ribawi hendaknya benar-benar kita camkan. Jangan sampai kita tetap larut dalam sistem riba ini. Maka tidak ada kata lain selain riba harus digusur dari perekonomian kita.

Alternatifnya
Allah SWT mengingatkan kita dalam QS. Al Baqarah ayat 275, yang artinya “…padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”. Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa jual beli sebagai cara untuk menambah kekayaan yang dibenarkan. Ini berarti dalam bidang ekonomi, maka suatu perekonomian seharusnya tegak berdiri di atas sektor riil bukan sektor non riil. Sektor riil yang dimaksud di sini adalah usaha produksi, perdagangan, dan jasa yang sesuai syariah bukan yang sesuai dengan hukum buatan manusia seperti kapitalisme.

Menggusur riba dalam perekonomian harus diikuti dengan menggusur kapitalisme baik sebagai sistem ekonomi maupun sebagai ideologi/sistem kehidupan dari Indonesia. Karena itu, alternatif praktis untuk mengikis riba sampai ke akar-akarnya adalah dengan mengubah ideologi dan sistem negara termasuk sistem ekonominya dengan disertai revolusi pemikiran masyarakat menjadi masyarakat yang Islami sehingga tidak terjadi lagi eksploitasi di dalam masyarakat.

——————————————————————————–

[1] Tazkia Institute, Riba dalam Persfektif Agama dan Sejarah, www.tazkia.com

[2] Jurnal Politik dan Dakwah Al Wa’ie, No. 4 Thn. I, 1-31 Desember 2000, hal. 36.

[3] Taqyuddin An-Nabhani (2000), Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Persfektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 201.

[4] Tazkia Institute, Riba dalam Persfektif Agama dan Sejarah, www.tazkia.com

[5] Hamka (1968), Tafsir Al-Azhar Djuzu’ III, PT Pembimbing Masa, Jakarta, hal. 80.

[6] Hamka, Op Cit, hal 80.

[7] Ibid, hal 75

[8] Majalah Dialog CSIC, No. 5 Thn. 1998

[9] Kavaljit Singh (1998), Memahami Globalisasi Keuangan: Panduan Untuk Memperkuat Rakyat, Yakoma PGI, Jakarta, hal. 33.

[10] Hidayatullah Muttaqin, (2002), Skripsi: Resiko Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia bagi APBN, Fakultas Ekonomi Unlam, Banjarmasin, hal. 48

[11] Ibid, hal. 46

[12] Kompas, 18/8/2002

[13] Ibid

[14] Ibid

[15] Hidayatullah Muttaqin, RAPBN yang Irrasional, Banjarmasin Post, 26/8/2002

[16] Siaran Pers BPK, Tentang Hasil Audit Investigatisi atas Penyaluran dan Penggunaan BLBI. www.bi.go.id

[17] Achjar Iljas, Menggugat Penjaminan Perbankan, Republika, 6/8/2002

[18] Susidarto, Di Balik Divestasi Saham BCA, Republika.

[19] Kompas, 17/9/2002

[20] Rahmat Basoeki Soeropranoto, Merampok Uang Rakyat, Republika, 28/8/2000

[21] H. Hilmi, SE, Perbaikan Ekonomi Bersama Bank Syariah, Makalah Seminar Syari’ah Economic Days 2002 di Jakarta.

[22] Dicki Iskandardinata, BLBI: Bencana Luar Biasa Indonesia, Media Indonesia, 14 /1/2000

Sumber :
http://jurnal-ekonomi.org/2003/09/15/saatnya-menggusur-riba-dari-percaturan-ekonomi-indonesia/
15 September 2003

Riba Merajalela, Salah Satu Tanda Semakin Dekatnya Kiamat

Di antara tanda-tanda semakin dekatnya kiamat lagi ialah munculnya riba secara merajalela di tengah-tengah masyarakat dan ketidakpedulian mereka terhadap makanan yang haram. Di dalam suatu hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda, yang artinya:

“Menjelang datangnya hari kiamat akan merajalela riba”. (HR: Thabrani sebagaimana termaktub dalam At-Targhib Wat-tarhib karya Al-Mundziri 3:9, dan beliau berkata, “Perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih”).

Dan di dalam kitab Shahih diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya:

“Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman yang pada waktu itu orang tidak memperdulikan lagi harta yang diperolehnya, apakah dari jalan halal atau dari jalan haram”.

(Shahih Bukhari, Kitab Al-Buyu’, Bab Qaulil-Lah Azza wa Jalla: “Yaa ayyuhal-ladziina aamanuu ta’kuluu ar-ribaa” 4: 313, dan Sunan Nasa’i 7: 234, Kitab Al-Buyu’, Bab Ijtinaabi Asy-Syubuhaat fi Al-Kasbi).

Kandungan atau isi hadits-hadits ini telah terbukti pada banyak kaum muslimin pada masa sekarang ini. Mereka tidak memilih yang halal lagi dalam berusaha, bahkan mereka kumpulkan saja harta baik dari jalan halal maupun dari jalan haram. Dan kebanyakan hal ini karena keterlibatan mereka dalam muamalah riba. Banyak bank yang berpaktik secara ribawi, dan banyak pula orang yang terjerembab ke dalamnya. Betapa jelinya Imam Bukhari hingga beliau memasukkan hadits ini dalam Bab Firman Allah Azza wa Jalla

“Yaa ayyuhal-ladziina amanuu laa ta’kulur-ribaa adh’aafan mudhoo’affah” ayat 130 surat Ali Imran

(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba secara berlipat ganda), untuk mejelaskan, bahwa praktik memakan riba secara berlipat ganda itu akan terjadi secara leluasa, yakni apabila manusia tidak mempedulikan cara mencari harta serta tidak membedakan antara yang halal dan yang haram.

(Sumber Rujukan: Asyratus Sa’ah Fasal Tanda-Tanda Kiamat Kecil, Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil)

Sumber :
http://www.unissula.ac.id/hikmah/index_serambi.asp?mID=%7B97F8F5D0-B214-4029-841A-5B80539BC5C7%7D
3 Maret 2008

Hukum Menjadi Pegawai Bank Dalam Pandangan Islam

Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Komisi Fatwa-nya dalam forum Rapat Kerja Nasional dan Ijtima’ Ulama Indonesia, sejak hampir 6 tahun yang lalu tepat pada hari Selasa 16 Desember 2003 telah mengeluarkan fatwa tentang bunga. Fatwa itu intinya menyatakan bahwa bunga pada bank dan lembaga keuangan lain yang ada sekarang telah memenuhi seluruh kriteria riba. Riba tegas dinyatakan haram, sebagaimana firman Allah SWT:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah [2]: 275).

Karena riba haram, berarti bunga juga haram. Karena itu, sejujurnya tidak ada yang istimewa dari fatwa MUI ini. Bahkan sejatinya, untuk perkara yang segamblang atau qath‘î itu tidaklah diperlukan fatwa, alias tinggal dilaksanakan saja. Artinya, fatwa itu lebih merupakan penegasan saja. Sebagai penegasan, fatwa ini sungguh penting karena meski jelas-jelas dilarang al-Quran, praktik pembungaan uang di berbagai bentuk lembaga keuangan tetap saja berlangsung hingga saat ini.

Tulisan kali ini akan lebih membahas tentang besarnya dosa riba dan keterlibatan di dalamnya (Tulisan lengkapnya dapat dilihat di buku kami: “Hukum Seputar Riba dan Pegawai Bank” yang diterbitkan Ar-Raudhoh Pustaka).


Dosa Riba

Seberapa besar dosa terlibat dalam riba, maka cukuplah hadits-hadits shahih berikut menjawabnya:

“Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam)” (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).

“Tinggalkanlah tujuh hal yang dapat membinasakan” Orang-orang bertanya, apakah gerangan wahai Rasul? Beliau menjawab: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri waktu datang serangan musuh dan menuduh wanita mu’min yang suci berzina”. (HR Bukhari Muslim)

Terlibat dalam riba (Bunga Bank) adalah termasuk dosa besar, yang sejajar dengan dosa syirik, sihir, membunuh, memakan harta anak yatim, melarikan dari jihad, dan menuduh wanita baik-baik berzina. Naudzubillah. Bahkan apabila suatu negeri membiarkan saja riba berkembang di daerahnya maka sama saja ia menghalalkan Allah untuk mengazab mereka semua.

“Apabila riba dan zina telah merajalela di suatu negeri, maka rakyat di negeri itu sama saja telah menghalalkan dirinya dari azab Allah” (HR. Al Hakim)

Pertanyaannya, jika Bank itu diharamkam karena Riba, lalu bagaimanakah hukum bagi orang yang bekerja di dalamnya (pegawai Bank)?


Hukum Menjadi Pegawai Bank Konvensional

Telah sampai kepada kita hadits riwayat Ibnu Majah dari jalan Ibnu Mas’ud dari Nabi SAW:

“Bahwa beliau (Nabi SAW) melaknat orang yang makan riba, orang yang menyerahkannya, para saksi serta pencatatnya.” (HR. Bukhari Muslim)

Jabir bin Abdillah r.a. meriwayatkan:

“Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan hasil riba, dan dua orang yang menjadi saksinya.” Dan beliau bersabda: “Mereka itu sama.” (HR. Muslim)

Ibnu Mas’ud meriwayatkan:

“Rasulullah saw. melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makan dari hasil riba, dua orang saksinya, dan penulisnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan:

“Orang yang makan riba, orang yang memben makan dengan riba, dan dua orang saksinya –jika mereka mengetahui hal itu– maka mereka itu dilaknat lewat lisan Nabi Muhammad saw. hingga han kiamat.” (HR. Nasa’i)

Dari hadits-hadits ini kita bisa memahami bahwa tidak diperbolehkan untuk melakukan transaksi ijarah (sewa/kontrak kerja) terhadap salah satu bentuk pekerjaan riba, karena transaksi tersebut merupakan transaksi terhadap jasa yang diharamkan.

Ada empat kelompok orang yang diharamkan berdasarkan hadits tersebut. Yaitu; orang yang makan atau menggunakan (penerima) riba, orang yang menyerahkan (pemberi) riba, pencatat riba, dan saksi riba. dan saat ini jenis pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang membanggakan sebagian kaum muslimin serta secara umum dan legal (secara hukum positif) di kontrak kerjakan kepada kaum muslimin di bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan dan pembiayaan. Berikut adalah keempat kategori pekerjaan yang diharamkan berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan diatas:

1. Penerima Riba

Penerima riba adalah siapa saja yang secara sadar memanfaatkan transaksi yang menghasilkan riba untuk keperluannya sedang ia mengetahui aktivitas tersebut adalah riba. Baik melalui pinjaman kredit, gadai, ataupun pertukaran barang atau uang dan yang lainnya, maka semua yang mengambil atau memanfaatkan aktivitas yang mendatangkan riba ini maka ia haram melakukannya, karena terkategori pemakan riba. Contohnya adalah orang-orang yang melakukan pinjaman hutang dari bank atau lembaga keuangan dan pembiayaan lainnnya untuk membeli sesuatu atau membiayai sesuatu dengan pembayaran kredit yang disertai dengan bunga (rente), baik dengan sistem bunga majemuk maupun tunggal.

2. Pemberi Riba.

Pemberi riba adalah siapa saja, baik secara pribadi maupun lembaga yang menggunakan hartanya atau mengelola harta orang lain secara sadar untuk suatu aktivitas yang menghasilkan riba. Yang termasuk dalam pengertian ini adalah para pemilik perusahaan keuangan, pembiayaan atau bank dan juga para pengelolanya yaitu para pengambil keputusan (Direktur atau Manajer) yang memiliki kebijakan disetujui atau tidak suatu aktivitas yang menghasilkan riba.

3. Pencatat Riba

Adalah siapa saja yang secara sadar terlibat dan menjadi pencatat aktivitas yang menghasilkan riba. Termasuk di dalamnya para teller, orang-orang yang menyusun anggaran (akuntan) dan orang yang membuatkan teks kontrak perjanjian yang menghasilkan riba.

4. Saksi Riba

Adalah siapa saja yang secara sadar terlibat dan menjadi saksi dalam suatu transaksi atau perjanjian yang menghasilkan riba. Termasuk di dalamnya mereka yang menjadi pengawas (supervisor).

Sedangkan status pegawai bank yang lain, instansi-instansi serta semua lembaga yang berhubungan dengan riba, harus diteliti terlebih dahulu tentang aktivitas pekerjaan atau deskripsi kerja dari status pegawai bank tersebut. Apabila pekerjaan yang dikontrakkan adalah bagian dari pekerjaan riba, baik pekerjaan itu sendiri yang menghasilkan riba ataupun yang menghasilkan riba dengan disertai aktivitas lain, maka seorang muslim haram untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, semisal menjadi direktur, akuntan, teller dan supervisornya, termasuk juga setiap pekerjaan yang menghasilkan jasa yang berhubungan dengan riba, baik yang berhubungan secara langsung maupun tidak. Sedangkan pekerjaan yang tidak berhubungan dengan riba, baik secara langsung maupun tidak, seperti juru kunci, penjaga (satpam), pekerja IT (Information Technology/Teknologi Informasi), tukang sapu dan sebagainya, maka diperbolehkan, karena transaksi kerja tersebut merupakan transaksi untuk mengontrak jasa dari pekerjaan yang halal (mubah). Juga karena pekerjaan tersebut tidak bisa disamakan dengan pekerjaan seorang pemberi, pencatat dan saksi riba, yang memang jenis pekerjaannya diharamkan dengan nash yang jelas (sharih).

Yang dinilai sama dengan pegawai bank adalah pegawai pemerintahan yang mengurusi kegiatan-kegiatan riba, seperti para pegawai yang bertugas menyerahkan pinjaman kepada petani dengan riba, para pegawai keuangan yang melakukan pekerjaan riba, termasuk para pegawai panti asuhan yang pekerjaannya adalah meminjam harta dengan riba, maka semuanya termasuk pegawai-pegawai yang diharamkan, dimana orang yang terlibat dianggap berdosa besar, karena mereka bisa disamakan dengan pencatat riba ataupun saksinya. Jadi, tiap pekerjaan yang telah diharamkan oleh Allah SWT, maka seorang muslim diharamkan sebagai ajiir di dalamnya.

Semua pegawai dari bank atau lembaga keuangan serta pemerintahan tersebut, apabila pekerjaannya termasuk dalam katagori mubah menurut syara’ untuk mereka lakukan, maka mereka boleh menjadi pegawai di dalamnya. Apabila pekerjaan tersebut termasuk pekerjaan yang menurut syara’ tidak mubah untuk dilakukan sendiri, maka dia juga tidak diperbolehkan untuk menjadi pegawai di dalamnya. Sebab, dia tidak diperbolehkan untuk menjadi ajiir di dalamnya. Maka, pekerjaan-pekerjaan yang haram dilakukan, hukumnya juga haram untuk dikontrakkan ataupun menjadi pihak yang dikontrak (ajiir).


Selain itu juga Allah SWT mengharamkan kita untuk melakukan kerjasama atau tolong-menolong dalam perbuatan dosa.

وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah: 02)

Wallahu’alam
http://onlymusafir.wordpress.com/2009/08/25/hukum-menjadi-pegawai-bank-dalam-pandangan-islam/
25 Agustus 2009


Sumber :

Meninggalkan Ekonomi Riba Lebih Penting Dibanding Aksi Anti-Korupsi

Ekonomi ribawi itu berdampak pada pengaruh korupsi. Musibah yang melanda ekonomi Indonesia akibat sistem ekonomi ribawi 

Musibah yang melanda ekonomi Indonesia selama ini akibat dominasi penerapan sistem ekonomi ribawi. Dalam praktiknya, ekonomi ribawi lebih membuat orang menjadi gila seperti kemasukan setan.

Pernyataan ini disampaikan Panglima Komando Laskar Islam Munarman, menyikapi perjalanan dramatis kasus Bank Century dan korupsi di Indonesia yang masih belum menemukan titik terang.

“Ekonomi riba menjadikan orang menjadi gila. Sudah seperti orang yang kemasukan setan. Dalilnya jelas, ini di jelaskan oleh Allah dalam Al-Quran,” ujar Munarman kepada www.hidayatullah.com, Selasa (8/12).

Karena itu, pihaknya akan terus mengawal dan mendukung gerakan melawan penerapan ekonomi riba dan melawan korupsi.

Hanya saja, terkait rencana aksi sosial besar-besaran dalam memperingati Hari Anti-Korupsi Se-Dunia, Rabu (9/12), Munarman mengaku tak banyak terlibat. Menurutnya, sekedar aksi peringatan akan berekses kecil. Sebab perang terhadap ekonomi ribawi itu jauh lebih penting, yang justru berdampak pada pengaruh korupsi. Adapaun gerakan aksi antikorupsi, hanyalah cabang dari masalah utama, yakni ekonomi ribawi.

“Kalau itu (Peringatan Hari Anti Korupsi Se-Dunia, red) hanya untuk permukaannya, kalau kita mendorong supaya Indonesia meninggalkan sistem riba, itu saja,” jelas mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini.

Menurut Munarman, selama menggunakan sistem ekonomi ribawi maka akan terus terjadi korupsi.

Sumber :
http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10059:meninggalkan-ekonomi-riba-lebih-penting-dibanding-aksi-anti-korupsi&catid=1:nasional&Itemid=54

8 Desember 2009

Hindari Riba dan Curang Maka Pahami Ilmu Fiqih

Ulama besar, Imam Syafi'i berpendapat pedagang idealnya memahami ilmu fiqih, sehingga masyarakat benar-benar merasakan perniagaan yang Islami dan terhindar dari praktek yang curang dan riba. Pendapat Imam Mahzab tersebut hingga kini masih jauh dari kenyataan dalam kehidupan pasar tradisonal di Indonesia maupun negara muslim lainnya.

"Ekonomi Syariah itu tidak hanya masalah makro seperti perbankan saja, tapi juga yang mikro seperti halnya perniagaan di pasar tradisional. Imam Syafi'i sudah mengingatkan agar pedagang faham fiqih, demi terwujudnya perniagaan yang Islami. Yang ideal seperti ini masih menjadi tantangan bagi Indonesia dan negara-negra muslim lainnya," kata Muhammad Arifin bin Baderi, pembicara dalam Seminar bertema Prospek dan tantangan Ekonomi Syariah di Indonesia Dalam Menghadapi Ekonomi Global di Wisma Nusantara Konsulat Jenderal RI, Andalus District, Jeddah, Kamis (17/12) siang.

Arifin juga membantah stigma pihak Barat, bahwa Ekonomi Syariah adalah ekonomi yang marginal. Menurutnya, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip dalam mengarungi dinamika peradaban, ekonomi syariah justru makin dilirik dan makin bonafide dalam percaturan bisnis Internasional. Terlebih lagi setelah krisis ekonomi kapitalis belum lama ini.

Arifin menegaskan, ada prinsip yang fundamental dalam Ekonomi Syariah, yang
tidak dimiliki ekonomi liberal, yaitu rizqi atau keuntungan adalah semata-mata karunia Allah, bukan semata-mata hasil prediksi, insting dan sistem yang dibuat manusia. Namun demikian juga bukan berarti Ekonomi Syariah bebas dari resiko rugi.

"Rezeki atau untung merupakan kemurahan dari Allah atas segala upaya kita di
jalan yang halal. Namun bukan berarti bebas dari resiko rugi. Rugi itu kan bisa dari faktor intern person nya, ekstren person-nya juga bisa karena musibah," jelasnya.

Dikatakan Arifin, sistem Syariah akan sukses bila umat Islam tidak berpikir serakah yang berpotensi menjerumuskan orang kepada perbuatan curang dan koruptif. Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya telah bersabda, bahwa jangan pernah merasa rizkimu telat datang, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia usai menikmati rizki terakhirnya.

Krisis Dubai

Mengenai krisis ekonomi di Dubai, sebagai negara yang menganut Ekonomi Syariah, praktisi perbankan Syariah Satria Agung Purwanto mengatakan, hal ini harus dilihat secara jeli.

"Ada negara yang memakai sistem campuran. Dubai termasuk yang menggunakan sistem campuran. Atau bisa juga hasil dari perbankan Syariah diinvestasikan ke produk yang diluar Syariah, lalu merugi, sehingga menimbulkan krisis. Jadi harus jeli melihatnya," ungkapnya dalam kesempatan yang sama.

Menurut Satria, sifat yang mendasar dalam transaksi Syariah adalah tidak mengandung unsur riba, penipuan (tidak transparan), tidak dzholim, tidak mengandung unsur judi dan spekulasi serta tidak untuk membiayai usaha yang haram.

"Riba tidak ada, yang ada adalah konsep bagi hasil yang mana semuanya harus tranparan tentang besar komisi, syarat dan kondisi. Itu semua harus disetujui dimuka dan disaksikan. Jadi tidak ada harapan-harapan dan spekulasi diluar yang disetujui dimuka," pungkasnya. (zal/lrn)

Sumber :
http://bangkapos.com/detail.php?section=1&category=6&subcat=18&id=12153

Bunga Bank = Riba Yang Diharamkan

Tanya : 
Assalamualaikum wr. wb.
Pengasuh kontak tanya jawab syariah yang dimuliakan Allah, saya mohon penjelasan lebih lanjut tentang riba dan bunga bank, apakah bunga bank hukumnya sama dengan riba atau tidak? Bagaimana caranya bermuamalah yang sesuai dengan syariah Islam, karena selama ini, saya pribadi, sudah sering melakukan transaksi dengan lembaga keuangan konvensional? Mohon penjelasannya! Wassalamualaikum wr. wb
(Ibu Mutmainnah, Mojokerto)

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Jawab :
Terima kasih banyak atas pertanyaan Ibu Mutmainnah kepada pengasuh kontak tanya jawab syariah PKES. Perlu kami jelaskan terlebih dahulu mengenai status hukumya riba dalam Islam. Sesuai dengan QS al-Baqarah [2]: 275, riba hukumnya haram. Dalam hal ini, tidak ada penjelasan lain yang membolehkan praktek riba dalam setiap aktifitas kegiatan ekonomi. Sudah tidak ada tawar menawar lagi tentang status keharaman riba. Sebagai solusinya, masih mengacu QS. Al-Baqarah [2]: 275, umat Islam diperkenankan untuk memperbanyak praktek jual-beli (ba’i) dalam kegiatan ekonomi.

Riba difahami sebagai ziyadah (tambahan), tumbuh dan membesar. Tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya. Ijma ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar (kabair). (lihat antara lain: a-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, [tt. Dar al-Fikr, t.th], juz 9, h. 391). An-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama madzhab Syafi’i) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Qur’an, atas dua pandangan. Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang dijelaskan oleh Sunnah. Setiap hukum tentang riba yang dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan al-Qur’an, baik riba naqd maupun riba nasi’ah. Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur’an sesungguh-nya hanya mencakup riba nasa’ii yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan atas harta (piutang), disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang diantara mereka, apabila jatuh jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihak berhutang tidak membayarnya, ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa pembayaran-nya.

Sekarang bagaimana dengan bunga bank? Apakah hukumnya sama dengan riba atau tidak? Bunga bank merupakan hal yang baru, termasuk masalah kontemporer yang pada zaman awal Islam, zaman Nabi Muhammad dan Khulafaur Ryasidin, belum dikenal adanya bunga bank. Maka dari itu perlu adanya tanggapan hukum Islam terhadap status hukum bunga bank.

Pada awal tahun 2004, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang bunga bank haram. Dalam fatwa ini dijelaskan bahwa bunga (interest atau faidah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transkasi pinjaman uang (qard) yang diperhitungkan dan pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan atau hasil poko tersebut, berdasrkan tempo wkatu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.

Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.

Adapun keinginan Ibu Mutmainnah untuk melakukan transaksi sesuai dengan syariah Islam merupakan suatu kewajiban bagi kita yang mengaku sebagai orang Islam (muslim atau muslimah). Saat ini sudah banyak lembaga keuangan yang beroperasi sesuai dengan syariah Islam, baik dalam bentuk perbankan maupun non perbankan, seperti asuransi syariah, pegadaian syariah, koperasi syariah atau reksadana syariah. Ibu Mutmainnah dapat menghubungi lembaga keuangan syariah terdekat dan dapat memperoleh informasi tentang produk yang sesuai.

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga dapat bermanfaat bagi Ibu Mutmainnah. Wallahu ‘alam bis shawab

Sumber :
http://www.pkesinteraktif.com/content/view/1993/909/lang,id/
7 Juli 2008

Riba dalam Transaksi Bisnis

Ditulis oleh Abdul Aziz Setiawan 

Islam telah tegas mengharamkan bunga atas pinjaman dan menghalalkan perdagangan. Secara tegas hal ini tertuang dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah (2) ayat 275, yang menyatakan bahwa “Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (bunga)”. Meski demikian Islam tidak menghalalkan segalanya dalam perdagangan. Islam memberikan panduan aturan yang juga jelas dalam jual beli, perdagangan atau bisnis. Hal ini karena, Islam ingin menghilangkan bukan saja ketidakadilan yang melekat dalam pranata bunga atas pinjaman (utang-piutang), tetapi juga yang terdapat dalam semua bentuk pertukaran (jual beli) yang tidak jujur dan tidak adil di dalam transaksi bisnis. Segala sesuatu ’tambahan’ (keuntungan) yang diterima dengan tanpa dapat dibenarkan oleh salah satu pihak dalam suatu transaksi perdagangan disebut riba al-fadl. Keuntungan yang dibenarkan dijelaskan Ibnu al ‘Arabi dalam Ahkam Al-Qur’an sebagai “semua kelebihan atas apa yang dapat dibenarkan oleh nilai yang setara (iwadh)”. Apabila tambahan tersebut melebihi nilai yang setara (iwadh) dapat masuk dalam kategori riba al-fadl yang tidak dibenarkan secara Syari’ah.



Transaksi Eksploitatif

Pengharaman riba al-fadl dimaksudkan untuk memastikan keadilan, untuk menghilangkan semua bentuk eksploitasi melalui pertukaran atau jual beli yang tidak adil, dan menutup semua pintu bagi riba. Karena menurut kaidah fiqih Islam yang diterima secara luas, bahwa segala sesuatu yang berfungsi sebagai sarana atas sesuatu yang haram juga menjadi haram karenanya.

Karena potensi eksploitasi atau pembebanan tambahan yang berlebihan dengan berbagai cara tersebut, Rasulullah SAW mengingatkan bahwa seorang Muslim bisa terlibat di dalam riba dalam berbagai cara (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi). Inilah sebabnya mengapa Rasulullah SAW berkata: ”Tinggalkan yang menimbulkan keraguan di dalam pikiranmu menuju apa yang tidak menimbulkan keraguan di dalamnya”, dimana hadits tersebut dikutip oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya mengenai surah Al-Baqarah ayat 275.

Berkaitan dengan hal tersebut Khalifah Umar bin Khattab juga mengatakan: ”Bukan saja jauhkan riba, tetapi juga jauhi ribah” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ad-Darimi). Ribah dari kata rayb yang secara harfiah berarti ‘ragu’ atau ‘curiga’ dan merujuk pada pendapatan yang menyerupai riba atau yang menimbulkan keraguan perihal keabsahannya. Hal ini mencakup semua pendapatan yang berasal dari ketidakadilan, ataupun eksploitasi atas orang lain. Ketidakadilan yang diakibatkan melalui riba dapat juga dilakukan melalui transaksi komoditas dan mata uang. Termasuk penentuan keuntungan atas transaksi perdagangan yang semena-mena. Dengan demikan, maka riba al-fadl merujuk pada semua ketidakadilan atau eksploitasi.

Untuk menghindari itu semua, transaksi yang Islami menuntut adanya pengetahuan yang memadai mengenai harga pasar sekarang dan kualitas barang yang dibeli atau dijual baik oleh pihak pembeli dan penjual. Ini mengharuskan penghapusan penipuan dalam harga maupun kualitas, dan dalam ukuran atau berat. Semua praktek bisnis yang mengarah kepada eksploitasi pembeli atau penjual dalam konsepsi Islam harus dihapuskan.

Hal inilah yang menjadi dasar mengapa beberapa jenis transaksi (jual-beli) telah dilarang Syari’ah dengan tujuan menjaga hak pembeli dan penjual. Seperti: najash (penipuan dan kolusi), ghabn al-mustarsil (menipu orang yang masuk pasar dan tidak mempunyai informasi), bay’ al-hadir li al-badi dan talaqqi al-rukban (kolusi monopsoni dan monopoli atau eksploitasi kepada pembeli melalui rekayasa pasar untuk menurunkan atau menaikkan harga diluar keseimbangan pasar), gharar, muhaqalah, munabadhah, mulamasah dan muzabanah (penjualan spekulatif atau gambling).



Menutup Jalan

Rasulullah SAW. menunjukkan paling tidak terdapat empat cara yang dapat menjerumuskan pihak yang bertransaksi bisnis kedalam riba al-fadl.

Pertama adalah eksploitasi yang mungkin terjadi pada perdagangan melalui penggunaan cara yang tidak jujur atau penipuan. Beliau menyamakan dengan riba atas prilaku penjual yang menipu orang yang masuk pasar dan tidak mempunyai informasi yang cukup (ghabn al mustarsil) (HR. Baihaqi) dan memanipulasi harga dalam penjualan dengan bantuan seorang agen (al-najash) (HR. Bukhari dan Baihaqi). Secara analogis bisa disimpulkan bahwa tambahan uang atau keuntungan yang diperoleh melalui eksploitasi dan penipuan tersebut termasuk dalam wilayah riba al-fadl.

Kedua, dengan menerima imbalan sebagai jasa atas rekomendasi yang menguntungkan seseorang secara tidak benar. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan tindakan yang tampaknya merupakan tindakan amal dengan niat mendapatkan uang secara tersembunyi juga diharamkan. Alasan dibalik hal ini karena rekomendasi yang tersebut kemungkinan memberikan manfaat kepada orang yang tidak layak atu tidak berhak, dan dengan demikian secara tidak langsung menghalangi orang lain yang lebih berhak (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Ketiga, terlibat dalam riba al-fadl melalui transaksi barter. Hal ini terjadi karena kesulitan mengukur ’nilai yang setara (iwadh/counter-value)’ secara akurat di dalam transaksi tersebut. Oleh karena itu, Rasulullah SAW melarang barter dalam perekonomian yang telah mengenal uang dan mengharuskan komoditi yang akan dipertukarkan atas dasar barter dijual secara tunai terlebih dahulu dan hasilnya digunakan untuk membeli barang yang diperlukan.

Keempat, pertukaran jenis komoditas yang sama. Sejumlah hadits yang shahih menyatakan bahwa apabila jenis komoditi yang sama dipertukarkan satu sama lain maka harus dipertukarkan dengan kuantitas dan bobot yang sama dari komoditas tersebut (equal for equal and like for like), dan dari tangan ke tangan (hand to hand). Apabila komoditi yang dipertukarkan berbeda, tidak menjadi masalah apabila terdapat perbedaaan pada berat dan kuantitas, asalkan pertukaran tersebut terjadi dari tangan ke tangan. Salah satu dampak dari persyaratan ini adalah menghilangkan jalan belakang kepada riba atau dalam fiqih disebut sebagai saddudz dzari’ah.

Dalam praktek transaksi dan bisnis kontemporer riba al-fadl bisa tersebar luas dan tidak mudah untuk dijelaskan. Hal ini sebagaimana dinyatakan Amirul Mu’minin, Umar bin Khattab, yang mengatakan: “Rasulullah SAW mengatakan tanpa menjelaskannya secara rinci kepada kami” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-Darimi). Rasulullah SAW hanya menjelaskan beberapa cara yang dapat melibatkan seseorang dalam riba al-fadl dan tidak menunjukkan semuanya. Bentuk-bentuk ketidakadilan dan eksploitasi dalam perdagangan dan pertukaran mata uang terus berkembang dan berubah dalam setiap abad dan tidak mungkin untuk diproyeksi dan dijelaskan semuanya. Oleh karenanya Al-Qur'an dan As-Sunnah memberikan prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi umat untuk memahami dan menjalankannya.

Potensi luasnya praktik riba al-fadl merupakan tantangan besar bagi seluruh kaum muslimin untuk mencermati praktek-praktek ekonomi mereka secara terus menerus agar senantias berdasarkan ajaran Islam dan berusaha keras untuk menghilangkan semua bentuk ketidakadilan. Tugas ini tentunya jauh lebih sulit daripada menghilangkan riba al-nasi’ah (bunga bank). Dan memerlukan komitmen total dan restrukturisasi keseluruhan praktik bisnis dan perekonomian masyarakat muslim agar sesuai kerangka nilai Islam. Konsep riba al-fadl yang diperkenalkan oleh Islam mencerminkan prinsip Islam yang teguh terhadap upaya perwujudan keadilan sosial-ekonomi. Hal ini telah menjadi kontribusi unik dari Islam. Wallahu a'lam bis-shawab.



Oleh A. Aziz Setiawan. Peneliti pada Pusat Penelitian STEI SEBI, International Institute of Islamic Finance (IIIF), The Indonesia Economic Intelligence (IEI), dan Indonesian Development of Institution and Economic (INDIE) Institute.

Artikel ini telah dipublikasi di Majalah Hidayatullah Edisi Oktober 2007

Sumber :
http://www.sebi.ac.id/index.php?Itemid=33&id=266&option=com_content&task=view
5 November 2007

Maslahat dibalik Pengharaman Riba

Sebuah masyarakat yang diimpikan oleh Islam, adalah masyarakat yang dibangun atas nilai-nilai ta’awun (saling tolong), takaful (saling peduli) dan tarahum (saling kasih dan sayang).

Manusia adalah wakil Allah di atas bumi, dan telah diberikan segala fasilitas kehidupan, baik berupa rizki, kekuatan, daya, upaya, pikiran dan segala sesuatu yang telah diciptakan di bumi dan di langit. Untuk itu, manusia mempunyai kewajiban untuk menjalankan sistem kehidupan yang telah diturunkan Allah dalam setiap langkah, akad, ibadah, dan kehidupan muamalah yang dijalani.

Manusia mempunyai tanggungjawab untuk membumikan aturan Tuhan dalam setiap gerak langkah yang dilakukan dan disesuaikan dengan perintah-perintah Tuhan. Inti dari ajaran Allah dalam hubungan kemanusiaan yang dilakukan oleh manusia adalah memberikan hak-hak setiap individu, memberikan kasih sayang kepada kaum lemah, mewujudkan hak masyarakat dari orang-orang yang mampu, semuanya itu merupakan ketentuan atas harta yang dimiliki masyarakat dalam rangka mewujudkan sebuah masyarakat yang Islami.

Jika manusia berani untuk merusak ketentuan tersebut di atas, maka mereka termasuk orang-orang yang dzalim. Sekelompok orang yang telah melampaui batas-batas ketentuan Allah yang telah menjadikan wakil-Nya di atas bumi. Untuk menjaga fasilitas kehidupan, manusia diharapkan mau untuk mematuhi batasan-batasan yang telah ditentukan. Dalam harta misalnya, mereka tidak boleh mengembangkan dan memberdayakan harta mereka pada jalan-jalan yang dapat menimbulkan kerusakan dan kerugian pada pihak lain. Jalan yang ditempuh harus terbebas dari unsur kedzaliman terhadap orang lain. Tidak menghalangi dan menghambat perputaran harta, menutup jalan orang lain untuk mendapatkan rizki, atau membiarkan rizki hanya berputar pada segelintir orang saja.

Selain itu, kita juga tidak boleh menahan dan menyimpan harta dari kemaslahatan masyarakat publik, karena manusia mempunyai kewajiban untuk memanfaatkan harta yang dimiliki demi kemaslahatan publik. Allah berfirman: “ Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu “ (at Taubah: 34-35), jika harta yang dimiliki manusia diputar dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri, maka akan menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Konsekwensinya, masyarakat akan mendapatkan sumber pendapatan baru yang pada akhirnya akan meningkatkan taraf hidup dan budaya.

Jika mereka tetap menyimpan dan tidak mau meng-investasikan harta kekayaan yang ada, maka lapangan kerja akan berkurang. Pemilik menunggu sampai masyarakat benar-benar merasa butuh dana untuk investasi. Pada titik tersebut pemilik akan bersedia memberikan pinjaman, namun dengan syarat harus ada bunga. Jika hal ini terjadi, maka tidak diragukan lagi, pemilik harta tersebut identik dengan musuh masyarakat yang merusak tatanan yang ada, dan batas-batas ketentuan Allah serta hak-hak manuisa.

Riba merupakan perusak nilai sedekah, jika sedekah diberikan tanpa imbalan, maka berlaku sebaliknya. Pinjaman yang diberikan menuntut adanya pengembalian harta pokok ditambah dengan jumlah tertentu. Praktik ini diharamkan, karena pemilik sama halnya meng-ghasab dan mengeksploitasi usaha, upaya, bahkan darah orang yang meminjam. Eksploitasi atas kinerja peminjam terjadi ketika, hutang tersebut digunakan sebagai modal kerja. Kemudian ia mendapat keuntungan, namun ia harus memberikan sebagian keuntungan itu kepada orang yang meminjami sebagai bunga yang dipersyaratkan. Jika bisnis yang dijalankan merugi, atau pinjaman itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif, maka tambahan pengembalian itu sama halnya akan meneteskan darah peminjam secara perlahan-lahan.

Dalam Islam, kewajiban zakat merupakan instrumen untuk menegakkan nilai-nilai kepedulian atau pun keseimbangan dalam dunia ekonomi. Jika zakat diterapkan akan menciptakan sebuah nilai kasih dan sayang di antara anggota masyarakat. Menumbuhkan perasaan untuk saling mencintai, mensucikan hati dan membersihkan harta yang dimiliki. Berbeda dengan praktek riba, hal ini akan menyuburkan nilai-nilai egoisme, individualisme, self-interest dan dapat merusak hubungan setiap individu masyarakat. Akan menimbulkan kedengkian atau pun perpecahan di antara mereka. Untuk itu, dalam sebuah ayat, Allah mengumandangkan maklumat perang bagi orang-orang yang melakukan praktek riba, Allah berfirman: “ Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya “ (al Baqarah: 278-279)

Ibnu Abbas berkata, jika seorang pemimpin mendapatkan praktek riba dalam masyarakat, maka ia berhak untuk menyuruh mereka bertaubat. Jika mereka tidak mau dan tetap melakukan riba, maka ia berhak untuk memenggal leher mereka. Ini merupakan hukum Islam yang telah disyariatkan 1400 tahun yang lalu atas orang-orang pemakan riba, untuk mencegah dampak negatif yang akan ditimbulkan dalam dunia ekonomi dan masyarakat.

Harta dalam pandangan Islam, hanyalah merupakan titipan Allah yang diserahkan di tangan pemiliknya, dan ia berkewajiban untuk menggunakannya demi kebaikan ummat. Pemilik harta tidak mempunyai hak untuk membelokkan tugas tersebut menjadi sesuatu yang dapat menimbulkan kemadlaratan bagi masyarakat, mengembangkan harta tanpa adanya suatu usaha dan hanya menunggu perputaran waktu.

Praktek riba yang ada, akan mendudukkan pemiliknya sebagai sekedar pemilik. Ia memberikan pada diri pemilik atas kepemilikannya itu hak untuk melakukan pemerasan terhadap keringat, upaya atau darah orang lain. Menyebabkan pemilik harta itu untuk menikmati hasil jerih payah orang lain by doing nothing. Islam sangat mengingkari praktek tersebut, Islam menghormati kesucian kerja dan menganggapnya sebagai sebab utama kepemilikan orang terhadap harta. Maka tidak dibenarkan, harta dapat melahirkan dan menambah harta tanpa adanya usaha.

Jika Islam sangat mengharapkan kesucian etika dan perilaku setiap individu, sebagaimana halnya untuk menegakkan nilai-nilai kasih sayang di antara sesama, maka tidak diragukan lagi, sesungguhnya orang yang memakan riba akan keluar dari batasan kaidah Islam, etika dan perasaan seorang muslim. Seorang pemakan riba merupakan musuh bagi orang-orang yang membutuhkan. Orang yang memerangi nilai cinta dan belas kasihan, orang yang merusak dan menghancurkan nilai ta’awun yang merupakan pondasi dasar masyarakat Islami.

Dengan adanya riba, akan menimbulkan elitisme. Sekelompok orang pengangguran namun bisa hidup dengan kemewahan, tidak melakukan pekerjaan, tapi bisa mendapatkan segala sesuatu. Harta yang dimiliki oleh mereka bagaikan sebuah jaring untuk memburu harta tanpa adanya beban yang harus ditanggung, walaupun hanya untuk membeli umpan makanan di dalam jaring. Selanjutnya akan terperangkaplah orang-orang yang membutuhkan ke dalam jarring. Riba merupakan sarana untuk menumpuk harta kekayaan dan dapat menimbulkan perpecahan masyarakat kalangan atas dan bawah tanpa batas. (Sayyid Quthb, al ‘Adalah al Ijtima’iyyah)

Masyarakat yang mempraktekkan riba, akan menemukan suasana kehidupan yang penuh dengan kebingungan dan perpecahan. Hal ini pernah disinggung Allah dalam Al Qur’an atas keadaan pemakan riba dalam firman-Nya: “ Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak akan berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila “(al Baqarah: 275). Gambaran yang dijelaskan Allah mencerminkan keadaan para pelaku riba dewasa ini. Mereka takut jika harta yang dimiliki tidak berkembang dan tidak mencukupi kebutuhan keturunan mereka. Mereka takut jika peminjam yang miskin akan melarikan diri dan meninggalkan mereka dalam keadaan yang hina. Maka mereka melakukan segala cara untuk mengamankan harta yang dipinjamkan, seperti layaknya orang gila.

Jika kita berfikir terhadap apa yang dilakukan pelaku riba, mereka seperti kehilangan akal, penuh dengan ketakutan dan perasaan was-was atas harta yang dipinjamkan, dan takut harta yang dipinjamkan tidak berkembang. Fenomena yang sama juga dialami negara kapitalis. Kehidupan mereka ditopang dengan pinjaman dari bank sentral ribawi, dengan demikian mereka harus aktif untuk mencari jaminan atas hutang pokok yang ditanggung plus dengan bunga. Mereka akan melakukan segala cara untuk mendapatkan hal tersebut, melakukan penjajahan atau pun peperangan terhadap negara lain, hanya untuk mendapatkan sebuah jaminan. Tentunya, hal ini hanya akan memperkaya bank sentral yang memberikan pinjaman dengan bunga. Harta akan berpusat, dan tidak dapat menyentuh dimensi kehidupan manusia secara umum.

Sumber :
Abdul Sami’ Al Mishri, Muqawwimat al Iqtishad al Islami dalam :
http://baitul-maal.com/artikel/maslahat-dibalik-pengharaman-riba.html
22 April 2009

Pengertian Riba

Pengertian riba menurut Islam secara lebih rinci diuraikan oleh seorang fakih masyhur, Ibn Rushd (al-hafid), dalam kitabnya Bidaya al-Mujtahid, Bab Perdagangan. Ibn Rushd mengkategorisasikan sumber riba ke dalam delapan jenis transaksi: (1) Transaksi yang dicirikan dengan suatu pernyataan ’Beri saya kelonggaran [dalam pelunasan] dan saya akan tambahkan [jumlah pengembaliannya]; (2) Penjualan dengan penambahan yang terlarang; (3) Penjualan dengan penundaan pembayaran yang terlarang; (4) penjualan yang dicampuraduk dengan utang; (5) penjualan emas dan barang dagangan untuk emas; (6) pengurangan jumlah sebagai imbalan atas penyelesaian yang cepat; (7) penjualan produk pangan yang belum sepenuhnya diterima; (8) atau penjualan yang dicampuraduk dengan pertukaran uang. Perlu diketahui bahwa Ibn Rushd menuliskan Bidayat al-Mujtahid dengan menganalisis berbagai pendapat para imam dari keempat madhhab utama.

Dalam formulasi sederhananya Ibn Rushd menggolongkan kemungkinan munculnya riba dalam perdagangan di atas ke dalam dua jenis:
(1) Penundaan pembayaran (riba nasi’ah); dan
(2) Perbedaan nilai (riba tafadul).

Riba yang pertama, al nasi’ah, merujuk pada selisih waktu; dan riba yang kedua, tafadul atau al-fadl , merujuk pada selisih nilai. Dengan dua jenis sumber riba ini, Ibn Rushd merumuskan adanya empat kemungkinan:
1. Hal-hal yang pada keduanya, baik penundaan maupun perbedaan, dilarang adanya.
2. Hal-hal yang padanya dibolehkan ada perbedaan tetapi dilarang ada penundaan.
3. Hal-hal yang pada keduanya, baik penundaan maupun perbedaan, diperbolehkan adanya.
4. Hal-hal (yang dipertukarkan) yang terdiri atas satu jenis (genus) yang sama (semisal pertukaran uang, sewa-menyewa, dan utang-piutang).

Rumusan di atas menunjukkan bahwa istilah penundaan maupun perbedaan nilai (penambahan) digunakan di dalam fikih untuk hal-hal baik yang bisa dibenarkan maupun tidak, tergantung kepada jenis transaksi dan barang yang ditransaksikan. Ini bermakna bahwa:
a) Dalam suatu transaksi yang mengandung unsur penundaan yang dilarang timbul riba yang termasuk riba al nasi’ah.
b) Dalam transaksi yang mengandung unsur penambahan yang dilarang timbul riba yang termasuk riba al-fadl.
c) Dalam suatu transaksi yang mengandung keduanya berarti timbul riba yang merupakan riba al-nasi’ah dan riba al-fadl sekaligus.

Pengertian yang benar tentang jenis riba ini penting terutama dalam konteks transaksi yang melibatkan jenis (genus) yang sama di atas. Berikut kita aplikasikan pengertian ini dalam beberapa jenis transaksi dalam kehidupan sehari-hari. Contoh kongkrit diberikan untuk memperjelas pengertiannya.

Transaksi utang-piutang mengandung penundaan (selisih) waktu, tapi tidak ada unsur penambahan. Seseorang meminjamkan uang Rp 1 juta rupiah, dan peminjam melunasinya, setelah tertunda beberapa waktu lamanya, dalam jumlah yang sama, Rp 1 juta. Penundaan waktu dalam utang-piutang ini dibenarkan dan hukumnya halal, tetapi penambahan atasnya tidak dibenarkan dan hukumnya haram. Penambahan dalam utang-piutang adalah riba al-fadl.

Transaksi pertukaran tidak melibatkan baik penundaan (selisih) waktu maupun penambahan nilai. Seseorang memberikan sejumlah uang, Rp 1 juta, kepada seseorang yang lain. Tanpa ada selisih waktu, artinya pada saat uang diserahkan, dan tanpa perbedaan nilai, tetap Rp 1 juta, seseorang lain menerimanya, sambil menyerahkan uang yang sama Rp 1 juta. Selisih waktu dalam pertukaran dilarang dan hukumnya haram; demikian juga penambahan di dalam pertukaran dilarang dan hukumnya haram. Kalau penyerahannya (dari salah satu atau kedua belah pihak) ditunda maka yang harus dilakukan adalah menjadikan transaksi tersebut secara jelas sebagai utang-piutang. Utang-piutang tidak boleh disembunyikan sebagai pertukaran. Kalau hal ini terjadi maka timbul riba, dalam hal ini riba al-nasi’ah.

Transaksi sewa-menyewa melibatkan kedua unsur, baik penundaan maupun penambahan nilai. Seseorang yang menyewa rumah, misalnya Rp 10 juta untuk setahun, akan mengambil hak pemilikan sementara (selama setahun) atas rumah tersebut dan ketika mengembalikannya, setelah setahun kemudian, bersama dengan penambahan nilai, berupa uang sewanya, Rp 10 juta. (Bahwa umumnya saat ini sewa rumah dibayar di muka, adalah persoalan lain). Keduanya, penundaan waktu dan penambahan nilai dalam transaksi ini dibolehkan, hukumnya halal. Tetapi, harus dipahami, bahwa transaksi sewa-menyewa hanya dapat dilakukan atas benda-benda tertentu saja (bangunan, kendaraan, binatang, dan sejenisnya; dan tidak atas benda-benda lain yang fungible – habis terpakai dan tidak bisa dimanfaatkan bagian per bagiannya – seperti makanan dan benda yang dipakai sebagai alat tukar, yakni uang. Sewa-menyewa uang berarti merusak fitrah transaksi, dan menjadikannya sebagai riba. Dalam hal ini riba yang terjadi adalah riba al-fadl, karena menyewakan uang serupa dengan menambahkan nilai pada utang-piutang.

Sedangkan dalam jual-beli, yang melibatkan benda tidak sejenis, penundaan dibolehkan, tetapi penambahan nilai dilarang. Pemesanan barang dengan pembayaran uang muka, atau pembelian barang yang diserahkan kemudian, yang melibatkan penundaan waktu dibolehkan, dan hukumnya halal. Tetapi jual-beli yang melibatkan dua harga yang berbeda, misalnya Rp 1 juta bila dibayar tunai, dan menjadi Rp 1.5 juta bila dicicil atau dibayar beberapa waktu kemudian, diharamkan. Atau bila seorang penjual memberikan penundaan pembayaran, dalam fikih disebut transaksi salam, yang dibolehkan namun pada saat jatuh tempo ia menyatakan kepada pembeli ’Anda boleh memperpanjang tempo tapi dengan tambahan harga’ atau, sebaliknya pada awal transaksi, ’Anda boleh membayar lebih cepat dan saya akan berikan diskon (selisih harga)’, transaksi ini menjadi haram hukumnya. Dalam hal ini masuk unsur riba, yaitu riba al-fadl. Dalam fikih bentuk transaksi ini dikenal sebagai ’dua penjualan dalam satu transaksi’.

Dengan dipahaminya pengertian riba menurut syariah sebagaimana dirumuskan oleh para ulama di atas, posisi para pembaru akan dengan jelas dapat dilihat. Sebagaimana akan diuraikan di bawah ini mereka meredefinisi pengertian riba dengan tujuan untuk mengakomodasi sistem ekonomi modern (baca: kapitalisme) yang sepenuhnya berdasarkan riba.

Sumber :
http://islamhariini.wordpress.com/2007/11/14/pengertian-riba/

Dosa Riba menurut Alquran dan Sunnah

Sebagaimana dijelaskan di awal, bahwa seluruh ahli ekonomi Islam dunia, sejak tahun 1973 sampai sekarang telah sepakat bahwa bunga bank tidak sesuai dengan syari’ah Islam, dan hukum mengambilnya adalah haram. Menurut penelitian Prof.Dr.M.Akram Khan, Prof, Dr. M.Umer Chapra, Prof.Dr.Yusuf Qardhawi, Prof. Muhammad Ali Ash-Shobuni, dan sejumlah ulama lainnya, kesepakatan itu telah menjadi ijma’ ulama dunia. Dengan demikian, tidak ada lagi perbedaan pendapat tentang keharaman bunga bank.

Pada tahun 1976, sejumlah 300 pakar ekonomi dan ulama dunia sepakat tentang keharaman bunga bank yang mereka putuskan pada Konferensi I Ekonomi Islam Internasional di Jeddah. Bahkan sebelumnya, yakni tahun 1973, seluruh ulama OKI sepakat tentang keharaman bunga bank tersebut. Konferensi internasional yang dihadiri ratusan pakar ekonomi Islam dunia itu telah berulang kali digelar di berbagai negara. Puluhan konferensi, seminar dan simposium internasional itu menyepakati secara bulat tentang keharaman bunga bank.

Jadi, kalau seluruh ahli ekonomi Islam se-dunia sepakat tentang keharaman bunga bank, dikuatkan lagi oleh ulama OKI dan Rabithah Alam Al-islami serta Majma’ Buhuts (lembaga fatwa) di seluruh dunia, tetapi anehnya, mengapa ada segelintir orang yang tak ahli tentang ekonomi Islam berkomentar membantah keharaman bunga bank. Itu adalah sebuah keanehan dan secara keilmuan cukup memalukan. Hal ini jelas apabila kita ambil sindiran Alquran tentang mereka yang tak ahli dalam bidang itu. Firman Allah,

“Kemudian kami jadikan bagi kamu syari’ah untuk urusan itu, maka ikutilah syari’ah itu, jangan ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.

Menurut ayat ini, orang yang tidak mengikuti syari’ah (termasuk ekonomi syari’ah), adalah karena dua alasan. Pertama, Mereka mengikuti hawa nafsu, karena terganggu kepentinga dunianya, 2. Mereka memang tidak tahu tentang syari’ah itu (dalam hal ini ekonomi dan ilmu moneter syari’ah).

Seorang Professor muslim sekalipun, tapi tidak mendalami ilmu moneter, mereka seringkali tidak tahu tentang praktek moneter dan dampaknya dalam ekonomi makro. Kalau mereka telah mendalami itu, bisa dipastikan mereka akan mengharamkan bunga, sebagaimana ratusan pakar ekonomi Islam lainnya.

Dosa Riba.
Dalam Islam, riba termasuk dosa besar yang harus dijauhi. Sebuah hadits riwayat Bukhari Muslim meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda,

اجتنبوا السبع الموبقات : قالوا يا رسول الله وما هن ؟ قال : الشرك بالله والسحر و قتل النفس التى حرم الله الا بالحق و أكل الربا وأكل مال اليتيم والتولى يوم الزحف و قذف المحصنات المؤمنات الغافلات (متفق عليه)

“Tinggalkanlah tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya, “Apakah itu ya Rasul?. Beliau menjawab, syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri ketika peperangan berkecamuk, menuduh wanita suci berzina”. (HR..dari Abu Hurairah). Dalam hadits riwayat muslim bahwa Jabir berkata,

لعن رسول الله صلعم أكل الربا ومؤكله وكاتبه وشاهديه و قال : سواء(رواه مسلم)
“Rasulullah melaknat dan mengutuk orang memakan riba (kreditur) dan orang yang memberi makan orang lain dengan riba (debitur). Rasul juga mengutuk pegawai yang mencatat transaksi riba dan saksi-saksinya. Nabi SAW bersabda, “Mereka semuanya sama”.(H.R.Muslim)

Selanjutnya, Abbdullah bin Mas’ud memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda,
عن ابن مسعود ان النبي صلعم قال : الربا ثلاثة وسبعون بابا ايسرها مثل ان ينكح الرجل أمه (رواه الحاكم)

“Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, sedang yang paling ringan ialah seorang yang menzinai ibunya sendiri”. (HR.Ibnu Majah dan Hakim).اربع حق على الله أن لا يدخلهم الجنة ولا يذيقهم نعيمها : مدهن الخمر و أكل الربا وأكل مال اليتيم بغير حق و العاق لوالديه (رواه الحاكم)

Dalam hadits lain Nabi barsabda, “Empat golongan yang tidak dimasukkan ke dalam syorga dan tidak merasakan nikmatnya, yang menjadi hak prerogatif Allah, Pertama, peminum kahamar,Kedua pemakan riba, Ketiga, pemakan harta anak yatim dan keempat, durhaka kepada orang tuanya”.(H.R. Hakim).

Abdullah bin Hanzalah, meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,

الدرهم يصيبه الرجل من الربا اعظم عند الله من ثلاثة وثلاثين زينة يزنيها فىالاسلام (رواه الطبرانى

Satu dirham riba yang diambil seseorang, maka dosanya di sisi Allah lebih besar dari tiga puluh enam kali berzina yang dilakukannnya dalam islam”.(H.R. Darul Quthny)

ان الدرهم يصيبه الرجل من الربا أعظم عند الله في الخطيئة من ست و ثلاثين زينة يزنيها الرجل و أن أربى الربا عرض الرجل المسلم ( رواه ابن أبي الدنيا و البيهقي)

Diriwayatkan oleh Anas bahwa Rasulullah SAW telah berkhutbah dan menyebut perkara riba dengan bersabda,”Sesungguhnya satu dirham yang diperoleh seseorang dari riba, lebih besar dosanya di sisi Allah dari tiga puluh enam kali berzina. Dan sesungguhnya sebesar-besar riba ialah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (H.R. Baihaqi dan Ibnu Abu Dunya).

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW bersabda,
اذا ظهر الربى والزنى في قرية فقد أحلوا بعذاب الله (رواه الحاكم)

“Apabila zina dan riba telah merajalela dalam suatu negeri, maka sesunggguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah diturunkan kepada mereka”.(H.R. Hakim)

Amru bin Ash mendengar langsung Nabi mengatakan,

ما من قوم يظهر فيهم الربا الا أخذوا با لسنة وما من قوم يظهر فيهم الرشا الا أخذو با لرعب ( رواه أحمد)

“Bila riba merajalela pada suata bangsa, maka mereka akan ditimpa tahun-paceklik (krisis ekonomi). Dan bila suap-menyuap merajalela, maka mereka suatu saat akan ditimpa rasa ketakutan”. (H.R. Ahmad).

Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, bahwa Nabi SAW bersabda,

اياك و الذنوب التى لا تغفر : الغلول فمن غل شيئا اوتي به يوم القيامة و أكل الربا بعث يوم القيامة مجنونا يتخبط (رواه الطبراني)

Jauhilah dosa-dosa yang tak terampunkan, yaitu, pertama, curang (menipu &korupsi), siapa yang curang, maka pada kiamat nanti, akan didatangkan kepadanya siksa. Kedua, pemakan riba, barang siapa memakan riba, maka ia dibangkitkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan gila dan membabi buta. (H.R. Thabrani).

ما أحد أكثر من الربا الا كان عاقبة أمره الى قلة ( رواه ابن ماجة و الحاكم)

Abdullah bin Mas’ud memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda, “Setiap orang yang banyak makan riba, maka urusannya berakibat pada kekurangan”.(H.R. Ibnu Majah dan Hakim).

Maksudnya, pemakan riba selalu merasa kurang karena rakus pada uang dan harta. Sedangkan uangnya tidak diberkati Allah.Hal ini telah difirmankan Allah dalam al-qur’an, “Allah mencabut berkah dari riba dar menyuburkan (memberkati) sedeqah”. (Q.S. 2:276).

Dalam beberapa hadits dijelaskan, bahwa berkembangnya riba merupakan tanda-tanda akhir zaman (kiamat). Hal ini menunjukkan bahwa riba termasuk dosa besar yang harus dijahui ummat Islam. Dua hadits dibawah in menginformasikan kepada kita hal diatas. ليأتين على الناس زمان لا يبقى منهم احد من الربا فمن لم يأكله أصابه من غباره (ابو داؤد)

Abu Hurairah memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda,”Sungguh akan datang suatu zaman atas manusia, dimana tak seorang pun yang hidup saat itu, kecuali makan riba. Barang siapa yang tidak memakannya, akan terkena debunya”.(H.R.abu Daud dan ibnu Majah)

بين يدي الساعة يظهر الربا و الزنا و الخمر (رواه الطبراني)

Ibnu Mas’ud meriwayat bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Menjelang kiamat akan merajalela zina, riba dan minuman keras”. (H.R.Thabrani).

Demikianlah di antara dosa-dosa riba menurut Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, ummat Islam wajib mendepositokan atau menabungkan uangnya di Bank Islam, agar terhindar dari riba yang diharamkan.
Hijrah dari Sistem Riba ke Sistem Syari’ah. Dalam kenyataanya, sistem moneter dunia sudah dikuasai oleh sistem bunga sejak berabad-abad lamanya. Sistem ribawi kapitalisme itu, jelas tidak sesuai dengan syari’ah Islam. Karena itu seluruh ulama dunia pada saat ini telah sepakat bahwa sistem bunga adalah bentuk riba yang diharamkan (Hasil Konferensi Ulama OKI 1971).

Saat ini, semua profesor dan doktor ekonomi Islam yang belajar di Barat yang jumlahnya mencapai ratusan orang itu, telah ijma’ tentang keharaman bunga dan menunjukkan solusinya, yakni sistem bank syariah tanpa bunga.

Para ulama dahulu yang sebahagian kecil membolehkan bunga, kini semuanya mencabut fatwanya, sebab ternyata banK tanpa bunga bisa berkembang dengan baik malah lebih unggul dari bank ribawi.

Oleh karna itu, seluruh uang umat Islam, harus memasukkan, menyimpan atau mendepositokan uangnya di bank syari’ah, agar terjamin kehalalannya dan lembaga bank Islam semakin kuat serta ekonomi umat menjadi meningkat.

Dengan demikian Ongkos Naik Haji, sangat tidak layak disetor ke bank yang menerapkan sistem riba, apalagi uang mesjid dan majlis ta’lim. Semuanya seharusnya dikelola secara syari’ah Islam, agar hasilnya halal thayyiban.

Bila riba masih kita amalkan, maka dosa-dosa besar tersebut semakin melilit kita. Bagai mana mungkin Allah memenuhi permohonan dan do’a kita sedang kita membuat dosa besar yang melebihi zina. Bagai mana mungkin Allah memabrurkan haji kita, sedangkan biaya haji diputar secara ribawi. Maka, sudah saatnya kita berhubungan dengan lembaga bank dan keuangan syari’ah baik menabung, deposito, giro, setoran haji, dsb.

IIIa Ma Qad Salaf

Dalam pemikiran umat Islam mungkin timbul pertanyaan, bagaimana perbuatan kami selama ini yang menabung, mendepositokan dan menyetor ONH dengan sistem riba ?Alqur’an memberikan jawaban. “IIIa Ma Qad Salaf”. Maksudnya, urusan pada masa lalu, itu adalah persoalan masa lalu, “Wa Amruhu Illallah”, yakni, urusannya diserahkan kepada Allah yang Maha pengampun.Nanti jangan diulangi lagi.

Tegasnya, perbuatan masa lalu jangan menjadi pikiran, Insya Allah, Dia akan memaafkannya, yang penting sekarang adalah hijrah ke sistem syari’ah sembari minta ampun kepada Allah. Jangan buang-buang waktu lagi. Tetapi ingat!, Allah berfirman, “Siapa yang mengulangi lagi praktek riba, maka ia kekal dalam neraka”,(Q.S. 2:275)

Membangun Moneter Islam
Oleh karena sistem bunga tak sesuai dengan syari’ah, maka seluruh ummat Islam harus berusaha keras mengubah sistem moneter dan sistem kapitalisme ke sistem syari’ah. Perubahan ini tidak saja dalam bentuk konversi (pindah) dari sistem konvensional menjadi syari’ah, seperti yang dilakukan bank syari’ah Mandiri, BNI 46, bank IFI, dll, tetapi juga membangun lembaga bank syari’ah yang bebas riba, seperti BPR syari’ah .

Sumber:
Agustianto
http://agustianto.niriah.com/2008/04/30/dosa-riba-menurut-alquran-dan-sunnah/

Apakah Bunga Bank Termasuk Riba ?

Pertanyaan :
Assalamu’alaikum wr. wb
Saya saat ini bekerja pada salah satu bank swasta nasional (konvesional). Total masa kerja saya ± 14 tahun di bidang perbankan (merskipun bukan pada satu institusi). Pada suatu malam di bulan Ramadhan 1427 yang lalu saya mengikuti ceramah tarawih dengan materi tentang Ekonomi syariah. Sejak itu sampai sekarang saya selalu gelisah apabila mengingat salah satu inti ceramah itu yang menyebutkan bhwa bunga Bank adalah termasuk Riba yang dilarang oleh Allah swt.
Saya saat ini telah berencana untuk berpindah pekerjaan ke sektor non perbankan karena saya takut apabila bunga Bank benar termasuk Riba, maka alangklah dosanya saya karena selama ini telah memberikan kepada istri anak dan keluarga saya rezeki yang tidak halal meskipun setiap kali berangkat bekerja saya selalu meniatkan beribdah memenuhi kewajiban saya sebagai keluarga untuk mencari rezeki yang halalan thoyiban.
Billahi taufiq wal hidayah.
Wassalamu’alaikum wr. wb
Yon (xxx@yahoo.com)

Jawab :
 
BUNGA BANK ADALAH RIBA

Oleh : Ir. Muhammad Ismail Yusanto, MM

Sabda Rasululullah SAW, “Akan datang kepada umat ini suatu masa nanti ketika orang-orang menghalalkan riba dengan alasan: aspek perdagangan” (HR Ibnu Bathah, dari Al ‘Auzai).

Pengantar
Dalam kehidupan kaum Muslimin yang semakin sulit ini, memang ada yang tidak memperdulikan lagi masalah halal dan haramnya bunga bank. Bahkan ada pendapat yang terang-terangan menghalalkannya. Ini dikarenakan keterlibatan kaum Muslimin dalam sistem kehidupan Sekularisme-Kapitalisme Barat serta sistem Sosialisme-Atheisme. Bagi yang masih berpegang teguh kepada hukum Syariat Islam, maka berusaha agar kehidupannya berdiri di atas keadaan yang bersih dan halal. Namun karena umat pada masa sekarang adalah umat yang lemah, bodoh, dan tidak mampu membeda-bedakan antara satu pendapat dengan pendapat lainnya, maka mereka saat ini menjadi golongan yang paling bingung, diombang-ambing oleh berbagai pendapat dan pemikiran.
Dalam tulisan yang singkat ini, ada beberapa aspek yang ingin diketengahkan tentang seputar masalah riba :
Pertama, bunga riba dalam tinjauan sejarah. Akan dijelaskan secara singkat peran Bani Israil dan tingkah laku mereka dalam masalah riba.
Kedua, diketengahkan kelakuan orang-orang Yahudi dalam mengubah syariatnya sendiri (Hukum Allah SWT). Secara singkat akan dipaparkan peran kaum Yahudi dalam menghalalkan riba.
Ketiga, masih dalam kerangka tingkah laku kaum Yahudi, diceritakan juga serba sedikit usaha-usaha mereka dalam membangun jaringan kehidupan dalam bidang ekonomi dan keuangan dunia, khususnya dalam bidang moneter dan perbankan.
Keempat, mengetengahkan bagaimana bank pada awalnya berdiri, serta keterlibatan umat Islam Indonesia dalam masalah perbankan pada dekade awal abad XX sampai sekarang.
Kelima, mengetengahkan usaha-usaha para tokoh masyarakat Islam (intelektual dan kaum modernis) dalam menghalalkan riba (bunga) bank.
Keenam, mengetengahkan hukum riba yang tetap haram sampai Hari Kiamat.

Riba dan Yahudi dalam Tinjauan Sejarah
Sejak dahulu, Allah SWT telah mengharamkan riba. Keharamannya adalah abadi dan tidak boleh diubah sampai Hari Kiamat. Bahkan hukum ini telah ditegaskan dalam syariat Nabi Musa as, Isa as, sampai pada masa Nabi Muhammad saw. Tentang hal tersebut, Al Qur-aan telah mengabarkan tentang tingkah laku kaum Yahudi yang dihukum Allah SWT akibat tindakan kejam dan amoral mereka, termasuk di dalamnya perbuatan memakan harta riba. Firman Allah SWT:

“….disebabkan oleh kezhaliman orang-orang Yahudi, maka Kami telah haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) telah dihalalkan bagi mereka; dan (juga) karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah; serta disebabkan mereka memakan riba. Padahal sesungguhnya mereka telah dilarang memakannya, dan mereka memakan harta dengan jalan yang bathil (seperti memakan uang sogok, merampas harta orang yang lemah. Kemudian) Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih” (QS An Nisaa’ : 160-161).

Dalam sejarahnya, orang Yahudi adalah kaum yang sejak dahulu berusaha dengan segala cara menghalangi manusia untuk tidak melaksanakan syariat Allah SWT. Mereka membunuh para nabi, berusaha mengubah bentuk dan isi Taurat dan Injil, serta menghalalkan apa saja yang telah diharamkan Allah SWT, misalnya menghalalkan hubungan seksual antara anak dengan ayah, membolehkan adanya praktek sihir, menghalalkan riba sehingga terkenallah dari dahulu sampai sekarang bahwa antara Yahudi dengan perbuatan riba adalah susah dipisahkan. Tentang eratnya antara riba dengan gerak kehidupan kaum Yahudi, kita dapat mengetahuinya di dalam kitab suci mereka:

“Jikalau kamu memberikan pinjaman uang kepada umatku, yaitu kepada orang-orang miskin yang ada di antara kamu, maka janganlah kamu menjadikan baginya sebagai orang penagih hutang yang keras, dan janganlah mengambil bunga daripadanya” (Keluaran, 22:25).

Dalam kitab Imamat (orang Lewi), tersebut pula larangan yang senada. Pada kitab tersebut disebutkan agar orang-orang Yahudi tidak mengambil riba dari kalangan kaumnya sendiri:

“Maka jikalau saudaramu telah menjadi miskin dan tangannya gemetar besertamu ….., maka janganlah kamu mengambil daripadanya bunga dan laba yang terlalu (besar)…… jangan kamu memberikan uangmu kepadanya dengan memakai bunga …..” (Imamat 35-37).

Jelaslah di dalam ayat-ayat tersebut bahwa orang-orang Yahudi telah dilarang memakan riba (bunga). Namun dalam kenyataannya, mereka membangkang dan mengabaikan larangan tersebut. Mengapa mereka demikian berani melanggar ketentuan hukum Taurat itu? Dalam hal ini, Buya Hamka (alm) mengutip dari buku Taurat pada kitab Ulangan pasal 23 ayat 20 :

“Maka dari bangsa lain, kamu boleh mengambil bunga (riba). Tetapi dari saudaramu, maka tidak boleh kamu mengambilnya supaya diberkahi Tuhan Allahmu, agar kamu dalam segala perkara tanganmu mampu memegang negeri, (seperti) yang kamu tuju (cita-citakan) sekarang adalah hendaklah (kamu) mengambilnya sebagai bagian dari harta pusakamu”.

Berdasarkan kutipan di atas, Buya Hamka menarik kesimpulan bahwa ayat tersebut telah menjadi pegangan kaum Yahudi sedunia sampai sekarang. Mereka, biarpun tidak duduk pada kursi pemerintahan di suatu negeri, tetapi merekalah yang justru menguasai pemerintahan negeri tersebut melalui bentuk pinjaman ribawi (membungakan uangnya) yang menjerat leher.

Yahudi dan Penguasaan Moneter Internasional
Dalam sebuah penggalan naskah Protokolat, yaitu berupa strategi jahat Yahudi, disebutkan bahwa kebangkrutan berbagai negara di bidang ekonomi adalah hasil kreasi gemilang mereka, misalnya dengan kredit (pinjaman) yang menjerat leher negara non-Yahudi yang makin lama makin terasa sakit. Mereka katakan bahwa bantuan luar negeri yang telah dilakukan boleh dika­takan laksana seonggok benalu yang mencerap habis segenap potensi perekonomian negara tersebut.
Memang dalam kenyataannya pada masa sekarang, orang-orang Yahudi telah berhasil menguasai sistem moneter internasional, khususnya dalam bidang perbankan. Misalnya, penguasaan mereka terhadap pusat keuangan di Wallstreet (New York). Tempat ini merupakan pangsa bursa (uang) terbesar di dunia. Sirkulasi keuangan di Amerika Serikat telah dikuasai oleh orang-orang Yahudi sejak awal abad XX sampai sekarang.
Di samping itu, mereka juga menguasai bidang-bidang industri (yang umumnya dibutuhkan oleh orang banyak), perdagangan internasional (dalam bentuk perusahaan-perusahaan raksasa), yang tersebar di seluruh Amerika, Eropa dan negeri-negeri di Asia dan Afrika. Sebagai misal, di Amerika, orang-orang Yahudi menguasai perusahaan General Electric, Fairstone, Standard Oil, Texas dan Mobil Oil. Dalam perdagangan valuta asing, maka setiap 10 orang broker, sembilan di antaranya adalah orang-orang yahudi.
Di Perancis, sebagian saham yang tersebar di berbagai bidang kehidupan adalah milik orang-orang Yahudi. Dalam menghancurkan moral di suatu negeri, orang-orang Yahudi dan antek-anteknya ikut andil; misalnya mengelola usaha Kasino, Nigth Club, atau perdagangan obat bius.

Umat Islam Indonesia dan Perbankan
Sistem perbankan telah muncul di dunia Islam sejak kedatangan penjajah Barat menyerbu ke berbagai negeri Islam. Di negeri-negeri jajahannya, mereka menerapkan sistem ekonomi Kapitalisme yang bertumpu kepada sistem perbankan (riba).
Di Indonesia muncul bank pertama, yaitu Bank Priyayi, tahun 1846 di Purwokerto, dengan pendiri­nya Raden Bei Patih Aria Wiryaatmaja dari kalangan keraton. Kemudian secara meluas di berbagai daerah, berdiri Bank Rakyat (Volksbank); antara lain di Garut (1898), Sumatera Barat (1899), dan Menado (1899).
Dalam menanamkan sistem perbankan ini, penjajah Belanda mendirikan Sentral Kas, tahun 1912, yang berfungsi sebagai pusat keuangan. Dari kalangan intelektual, didirikanlah Indonesische Studie Club di Surabaya tahun 1929. Kemudian Belanda, dalam menyuburkan sistem riba, mendirikan Algemene Volkscredit Bank (AVB) tahun 1934.
Pada tahun-tahun pertama setelah terusirnya pejajah Belanda dari Indonesia, didirikanlah Yayasan Pusat Bank Indonesia tahun 1945, yang menjadi cikal bakal Bank Indonesia sekaligus memberikan rekomendasi pendirian bank-bank yang ada. Melalui PP No.1, tahun 1946, lahirlah Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pada tahun yang sama, menyusul berdirinya Bank Negara Indonesia (BNI) 1946. Kemudian jumlah bank semakin bertambah banyak. Di antaranya Bank Industri Negara (BIN, 1952), Bank Bumi Daya (BBD, 19 Agustus 1959). Bank Pembangunan Industri (BPI, 1960), Bank Dagang Negara (BDN, 2 April 1960), Bank Export-Import Indonesia (Bank Exim) yang dinasionalisasikan pada 30 Nopember 1960. Pada tahun-tahun berikutnya sampai sekarang, dunia perbankan tumbuh seperti jamur di musim hujan.
Secara garis besar, dunia perbankan di Indonesia didominasi oleh bank-bank yang menjadi Badan Usaha Milik Negara/BUMN (misalnya BNI 1946, BRI, BDN) dan bank-bank milik swasta. Untuk yang pertama, jumlahnya tidak terlalu banyak. Tetapi untuk yang kedua, ia terbagi ke dalam tiga kategori; yaitu swasta asli Indonesia (misalnya Bank Susila Bakti, Bank Arta Pusara, Bank Umum Majapahit), swasta merger bank luar (misalnya Lippo Bank, BCA, Bank Summa), dan bank luar tulen (misalnya Chase Manhattan, Deutsche Bank, Hongkong Bank, Bank of America).
Untuk melihat perkembangan perbankan di Indonesia, saat ini telah dibangun sejumlah 2652 bank (tidak termasuk BRI dan BRI Unit Desanya). Menurut standard Amerika ditilik dari jumlah penduduk Indonesia, maka negeri ini masih memerlukan 7800 bank lagi.

Sistem Perbankan dan Organisasi Keagamaan
Sebelum tahun 1990-an umat Islam Indonesia belum terlibat langsung. Sistem ini sejak dahulu hanya diminati oleh kalangan konglomerat. Namun sejak diadakan penandatangan kerja sama antara Bank Summa dengan Organisasi keagamaan NU tanggal 2 Juni 1990, maka umat Islam Indonesia telah mulai dilibatkan langsung dalam praktek perbankan. Dalam perjanjian kerjasama tersebut telah disepakati untuk didirikan sebanyak 2000 buah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di seluruh Indonesia. Namun sebelumnya BPR telah berdiri tanggal 25 Februari 1990. BPR ini memberikan pinjaman kredit sebesar antara 100.000 sampai 500.000 rupiah dengan bunga 2,25% per bulan, untuk pengusaha /pedagang kecil, petani, dan untuk umum kredit tersebut berkisar antara 25 sampai 200 juta rupiah.
Rencana NU untuk mendirikan BPR sesungguhnya bukan masalah baru lagi. Ide itu telah ada dan dibahas berulang-ulang dalam berbagai kesempatan kongres besar NU. Pada awalnya NU mengharamkannya; kemudian memberikan alternatif fatwa yaitu haram, halal dan subhat; dan terakhir tanggal 22 Juli 1990, NU melalui Abdurrahman Wahid sebagai PB NU telah menghalalkannya.
Fatwa NU ini lalu diikuti oleh Muhammadiyah melalui AS Projokusumo (sebagai PB Muhammadiyah). Alasan yang dikemukannya adalah karena fatwa tersebut diputuskan melalui perdebatan para ulama yang dikenal telah mendalami masalah-masalah hukum Islam. Majelis Ulama Indonesia, melalui KH Hasan Basri, menyambut baik keputusan NU ini. Menurut beliau, keputusan tersebut dikeluarkan atas dasar musyawarah para ulama yang memahami hukum Islam.
Fatwa ini menimbulkan reaksi antara yang pro dan kontra di kalangan ulama dan intelektual Muslim. Dari kubu yang tidak setuju, muncullah pernyataan dari Dekan Fakultas Syariah IAIN Jakarta, Dr Peunoh Daly. Ia berkata bahwa bank yang dibentuk oleh NU maupun Muhammadiyah seharusnya bank yang Islami, bukan bank yang hanya menjadi alat untuk pemerataan riba. Beliau menandaskan bahwa sampai sekarang belumlah ada bank yang bersifat Islami di Indonesia. Ia merasa heran mengapa sistem muamalah yang telah diatur oleh Islam, yaitu sistem muamalah mudlarabah, qiradh dan salam itu tidak dihidupkan. “Akibatnya, umat Islam terjerat ke dalam sistem bank yang mengandung riba”, celanya.
Di kalangan NU sendiri, ternyata ada suara yang tidak puas atas fatwa ini. Kalangan fungsionaris Syuriah PB NU, misalnya, menilai bahwa fatwa tersebut tidak sejalan dengan garis kebijakan mereka. Sebab, menurut mereka, NU seharusnya membentuk bank muamalah mudlarabah (berdagang bersama yang saling menguntungkan), bukan bank umum yang lebih cenderung menganut sistem rente.
Bagaimana silang pendapat di kalangan intelektual dan ulama modernis di negeri ini? Sesuaikah pendapat mereka dengan ketentuan syara’? Dapatkah pendapat mereka diterima? Lebih jauh dari itu, apakah mereka boleh disebut mujtahid atau lebih baik disebut sebagai muqallid?

Pendapat Intelektual dan Ulama Modernis
Di antara pekerjaan yang dikelola bank, maka yang menjadi topik permasalahan dalam Fikih Islam adalah soal bunga (rente) bank. Sebab, secara umum tujuan usaha bank adalah untuk memperoleh keuntungan dari perdagangan kredit. Bank memberikan kredit kepada orang luar dengan memungut bunga melalui pembayaran kredit (yang jumlahnya lebih besar dari besarnya kredit). Selisih pembayaran yang biasanya disebut bunga, itulah yang menjadi keuntungan usaha bank.
Dalam masalah ini, para intelektual dan ulama modernis mempunyai pendapat yang berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang mereka. Ada segolongan dari mereka yang mengharamkannya karena bunga bank tersebut dipandang sebagai riba. Tetapi segolongan lainnya menghalalkannya.
Ke dalam kubu pertama (yang mengharamkan bunga bank), tersebutlah Mahmud Abu Saud (Mantan Penasehat Bank Pakistan), berpendapat bahwa segala bentuk rente (bank) yang terkenal dalam sistem perekonomian sekarang ini adalah riba. Lalu kita juga mendengar pendapat Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas Cairo yang memandang bahwa riba Nasi’ah sudah jelas keharamannya dalam Al Qur-aan. Akan tetapi banyak orang yang tertarik kepada sistem perekonomian orang Yahudi yang saat ini menguasai perekonomian dunia. Mereka memandang bahwa sistem riba itu kini bersifat darurat yang tidak mungkin dapat dielakkan. Lantas mereka mena’wilkan dan membahas makna riba. Padahal sudah jelas bahwa makna riba itu adalah riba yang dilakukan oleh semua bank yang ada dewasa ini, dan tidak ada keraguan lagi tentang keharamannya. Buya Hamka secara sederhana memberikan batasan bahwa arti riba adalah tambahan. Maka, apakah ia tambahan lipat-ganda, atau tambahan 10 menjadi 11, atau tambahan 6% atau tambahan 10%, dan sebagainya, tidak dapat tidak tentulah terhitung riba juga. Oleh karena itu, susahlah buat tidak mengatakan bahwa meminjam uang dari bank dengan rente sekian adalah riba. (Dengan demikian) menyimpan dengan bunga sekian (deposito) artinya makan riba juga.
Ke dalam kubu kedua (yang menghalalkan bunga bank), peminatnya kebanyakan berasal dari kalangan intelektual dan ulama modernis. Mereka memandang bahwa bunga bank yang berlaku sekarang ini dalam batas-batas yang wajar, tidaklah dapat dipandang haram. Tersebutlah A. Hasan, salah seorang pemuka Persatuan Islam (Persis), yang mengemukakan bahwa riba yang sudah tentu haramnya itu ialah yang sifatnya berganda dan yang membawa (menyebabkan) ia berganda. Menurut beliau, riba yang sedikit dan yang tidak membawa kepada berganda, maka itu boleh. Ia menambahkan bahwa riba yang tidak haram adalah riba yang tidak mahal (besar) dan yang berupa pinjaman untuk tujuan berdagang, bertani, berusaha, pertukangan dan sebagainya, yakni yang bersifat produktif.
Drs Syarbini Harahap berpendapat bahwa bunga konsumtif yang dipungut oleh bank tidaklah sama dengan riba. Karena, menurutnya, di sana tidak terdapat unsur penganiayaan. Adapun jika bunga konsumtif itu dipungut oleh lintah darat, maka ia dapat dipandang sebagai riba. Sebab, praktek tersebut memberikan kemungkinan adanya penganiayaan dan unsur pemerasan antarsesama warga masyarakat, mengingat bahwa lintah darat hanya mengejar keuntungan untuk dirinya sendiri. Adapun jika bunga tersebut dipungut dari orang yang meminjam untuk tujuan-tujuan yang produktif seperti untuk perniagaan, asalkan saja tidak ada dalam teknis pemungutan tersebut unsur paksaan atau pemerasan, maka tidaklah salah dan tidak ada keharaman padanya.
Pernyataan Syarbini Harahap ini dalam perkembangan selanjutnya, ternyata sama nadanya dengan apa yang difatwakan NU via Abdurrahman wahid, atau lewat pernyataan Syafruddin Prawiranegara, Muhammad Hatta, Kasman Singodimejo, dan lain-lain.
Bertolak dari alasan bahwa transaksi kredit merupakan kegiatan perdagangan dengan uang sebagai komoditi, Dawan Rahardjo, mengatakan bahwa kalau transaksi kredit dilakukan dengan prinsip perdagangan (tijarah), maka hal tersebut dihalalkan. Riba yang tingkat bunganya berlipat ganda dan diharamkan itu perlu digantikan dengan mekanisme perdagangan yang dihalalkan.
Berbagai pendapat dan fatwa yang berani tersebut dalam upaya menghalalkan riba dalam bentuk bunga bank telah melibatkan jutaan kaum Muslimin ke dalam kegiatan perbankan. Walaupun demikian masih terdapat jutaan lainnya yang membenci praktek dan menjauhi dari memakan harta riba. Kebencian mereka terhadap praktek riba tersebut sama halnya dengan kebencian mereka memakan daging babi. Oleh karena itu masih banyak kalangan kaum Muslimin yang tidak mau meminjam dan menyimpan uang di bank karena takut terlibat riba, walaupun di kalangan kaum Muslimin tidak banyak mengerti sejauh mana aspek hukum dan kegiatan perbankan, serta banyak pula di antara mereka yang bingung terhadap hukum yang sebenarnya tentang riba (bunga) bank. Itulah fakta tentang keadaan umat Islam setelah umat ini diragukan dan dikaburkan pengertian mereka terhadap riba (bunga) bank.

Bolehkah Kita Menghalalkan Riba ?
Orang Islam yang awam sekalipun pasti tahu bahwa memakan harta riba adalah dosa besar. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan bahwa memakan harta riba termasuk dosa yang paling besar setelah dosa syirik, praktek sihir, membunuh, dan memakan harta anak yatim. Malah dalam sebuah Hadits lainnya disebutkan bahwa perbuatan riba itu derajatnya 36 kali lebih besar dosanya dibandingkan dengan dosa berzina. Rasul SAW bersabda :

“Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam)” (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).

Oleh karena itu, tidak ada satupun perbuatan yang lebih dilaknat Allah SWT selain riba. Sehingga Allah SWT memberikan peringatan yang keras bahwa orang-orang yang memakan riba akan diperangi (QS Al Baqarah : 279).
Jika pada awalnya riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, akan tetapi sebelum Rasulullah saw wafat, telah diturunkan yaitu ayat-ayat riba (QS Al Baqarah dari ayat 278-281) yang menurut asbabun nuzul-nya merupakan ayat-ayat terakhir dari Al Qur-aan. Dalam rangkaian ayat-ayat tersebut ditegaskan bahwa riba, baik kecil maupun besar, berlipat ganda atau tidak, maka ia tetap diharamkan sampai Hari Kiamat. Lebih dari itu, melalui ayat 275 dari rangkaian ayat-ayat tersebut, Allah SWT telah mengharamkan segala jenis riba, termasuklah di antaranya riba (bunga) bank:

“Mereka berkata (berpendapat bahwa) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba; padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan telah mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepada mereka larangan tersebut dari Rabbnya lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya (dipungut) pada waktu dulu (sebelum datangnya larang ini) dan urusannya (terserah) Allah. Sedangkan bagi orang-orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang-orang tersebut adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS Al Baqarah : 275).

Dalam hal ini, Ibnu Abbas berkata:

“Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau meninggalkannya, maka telah menjadi kewajiban bagi seorang Imam (Kepala Negara Islam) untuk menasehati orang-orang tersebut. Tetapi kalau mereka masih tetap membandel, maka seorang Imam dibolehkan memenggal lehernya”.

Juga Al Hasan bin Ali dan Ibnu Sirin berkata:

“Demi Allah, orang-orang yang memperjualbelikan mata-uang (money changer) adalah orang-orang yang memakan riba. Mereka telah diingatkan dengan ancaman akan diperangi oleh Allah dan RasulNya. Bila ada seorang Imam yang adil (Kepala Negara Islam), maka si Imam harus memberikan nasehat agar orang tersebut bertaubat (yaitu meninggalkan riba). Bila orang-orang tersebut menolak, maka mereka tersebut wajib diperangi”.

Apa sesungguhnya riba itu? Secara global dapatlah disebutkan bahwa definisi riba adalah :
“Tambahan yang terdapat dalam akad yang berasal dari salah satu pihak, baik dari segi (perolehan) uang, materi/barang, dan atau waktu, tanpa ada usaha dari pihak yang menerima tambahan tersebut”.
Definisi ini kiranya mampu mencakup semua jenis dan bentuk riba, baik yang pernah ada pada masa jahiliyah (riba Fadhal, riba Nasi’ah, riba Al Qardh), maupun riba yang ada pada masa sekarang ini, seperti riba bank yang mencakup bunga dari pinjaman kredit, investasi deposito, jual-beli saham dan surat berharga lainnya, dan atau riba jual-beli barang dan uang. Untuk riba yang terakhir ini contohnya banyak dan dapat berkembang pada setiap masa.
Berdasarkan definisi ini, maka walaupun nama dan jenisnya berbeda namun riba dapat mencakup banyak macam yang kiranya melebihi 73 macam menurut keterangan dari Hadits Rasulullah saw. Rasulullah saw melalui penglihatan ghaib yang bersandarkan kepada wahyu, telah mengetahui bahwa suatu saat nanti umat Islam akan menghalalkan riba dengan alasan perdagangan (bisnis), seperti yang tertera pada hadits pembuka tulisan ini. Lebih dari itu, beliau telah diberitahukan bahwa riba pada masa yang akan datang (misalnya zaman sekarang dan seterusnya) akan meliputi berbagai aktivitas bidang kehidupan ekonomi dan keuangan yang akhirnya akan melibatkan seluruh kaum Muslimin. Sabda Rasulullah saw:

“Riba itu mempunyai 73 macam. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri…” (HR Ibnu Majah, hadits No.2275; dan Al Hakim, Jilid II halaman 37; dari Ibnu Mas’ud, dengan sanad yang shahih).

Juga sabda Rasulullah saw:

“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya” (HR Ibnu Majah, hadits No.2278 dan Sunan Abu Dawud, hadits No.3331; dari Abu Hurairah).

Semua dalil di atas menunjukkan bahwa segala bentuk dan jenis riba adalah haram tanpa melihat lagi apakah riba tersebut telah ada pada masa jahiliyah atau riba yang muncul pada zaman sekarang. Pengertian ini ditegaskan pada ayat 275 surat Al Baqarah tersebut isinya bersifat umum, yakni hukumnya mencakup semua bentuk dan jenis riba; baik yang nyata maupun ter­sembunyi, sedikit persentasenya atau berlipat ganda, konsumtif maupun produktif.
Lafazh yang bersifat umum menurut kaidah Ushul Fiqih tidaklah boleh dibatasi dan disempitkan pengertiannya. Kaidah Ushul itu berbunyi:

“Lafazh umum akan tetap bersifat umum selama tidak terdapat dalil (syar’iy) yang mentakhsishkannya (yang mengecualikannya)”.

Dalam hal ini tidak terdapat satu ayat maupun hadits yang menghalalkan sebagian dari bentuk dan jenis riba (misalnya riba produktif), dan atau hanya mengharamkan sebagian yang lainnya (misalnya riba yang berlipat ganda, konsumtif, riba lintah darat). Dengan demikian, telah jelas bagi kita bahwa semua bentuk dan jenis riba adalah haram dan tetap haram sampai Hari Kiamat. Oleh karena itu, atas dasar apa para intelektual dan ulama modernis sampai berani menghalalkan riba bunga bank? Mereka telah berani membeda-bedakan halal-haramnya berdasarkan sifat konsumtif dan produktif, padahal Allah SWT dan Rasul-Nya tidak pernah membeda-bedakan bentuk dan jenis riba. Tidak ada satupun illat (sebab ditetapkannya hukum) bagi keharaman riba. Apakah kaum intelektual dan ulama modernis ingin mengubah hukum Allah SWT dari haram menjadi halal hanya karena faktor kemaslahatan, semisal untuk pembangunan, mengatasi kemiskinan; atau karena pada masa sekarang kegiatan perbankan yang berlandaskan kepada aktivitas riba sudah merajalela dalam masyarakat kaum Muslimin?
Barangkali kaum intelektual dan ulama modernis tidak takut lagi kepada ancaman dan siksa dari Allah SWT:

“Bila muncul perzinaan dan berbagai jenis dan bentuk riba di suatu kampung, maka benar-benar orang sudah mengabaikan (tak perduli) sama sekali terhadap siksa dari Allah yang akan menimpa mereka (pada suatu saat nanti)” (HR Thabrani, Al Hakim, dan Ibnu Abbas; Lihat Yusuf An Nabahani, Fath Al Kabir, Jilid I, halaman 132).

Pendapat dan fatwa yang muncul dari kalangan intelektual dan ulama modernis sesungguhnya tidak pada tempatnya dan tidak pula memenuhi syarat bagi orang yang berwenang untuk berijtihad serta tidak layak disebut sebagai ulama mujtahid. Oleh karena itu mereka tidak berhak mengeluarkan fatwa, apalagi untuk mengubah hukum Allah SWT dan Rasul-Nya !
Umat Islam diperintahkan untuk menolak setiap fatwa yang tidak berlandaskan kepada syariat Islam. Kita wajib menolaknya, bahkan wajib dicegah setiap hukum yang berlandaskan kepada akal dan hawa nafsu. Sebab, manusia tidak berhak menentukan satu hukumpun. Ia harus tunduk kepada hukum Allah SWT dan RasulNya semata. Bila kita menaati intelektual dan ulama modernis yang menghalalkan riba, maka itu sama artinya kita menjadikan mereka sebagai Tuhan yang disembah. Itulah yang pernah dikatakan oleh Rasulullah saw kepada ‘Adiy bin Hatim, ketika beliau menyampaikan firman Allah SWT:

“Mereka mengangkat pendeta-pendeta dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Mariyam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Satu: Tiada Tuhan kecuali Dia. Maha Suci (Allah SWT) dari yang mereka persekutukan” (QS At Taubah : 31).

Kemudian Adiy bin Hatim berkata :

“Kami tidak menyembah mereka (para Rahib dan Pendeta) itu”. Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya mereka telah menghalalkan apa yang telah dahulu diharamkan, mengharamkan apa yang telah dihalalkan, lalu kalian menaati mereka. Itulah bentuk penyembahan kalian terhadap mereka” (HR Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Jarir, dari ‘Adiy bin Hatim. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, halaman 349).

Apakah umat Islam ingin menjadikan ulama seperti di atas sebagai Tuhan sesembahan yang berhak menentukan halal dan haramnya sesuatu perbuatan?
Ya Allah, kami sudah menyampaikannya. Saksikanlah ! [ ]

Sumber :
http://konsultasi.wordpress.com/2007/02/02/apakah-bunga-bank-termasuk-riba-2/
2 Februari 2007